Di mana-mana, yang namanya berkenalan dan bertemu untuk yang pertama kalinya, pasti sebelumnya udah berhubungan dulu melalui pesan. Atau ... lewat sosial media, maybe? Yang jelas, udah ada komunikasi dari dua pihak yang bersangkutan.
Namun, berbeda denganku. Semua komunikasiku dan Mas Arden hanya lewat Mami dan Mbak Anti. Mami pun belum punya nomor ponsel Mas Arden. Aku apalagi. Jujur, aku agak syok dengan model perkenalan kayak gini. Dalam otakku terbesit satu pertanyaan. Apakah Mas Revan dan Mas Reno dulu begini juga?
Kalau sebelum-sebelumnya aku selalu memakai make up tipis jika bertemu cowok, kali ini aku pengin tampil beda. Aku pengin pakai baju yang sederhana, simpel, dengan bare face. Nggak tahu kenapa, aku pengin Mas Arden melihatku apa adanya. Tanpa melihatku dengan make up di wajah atau memakai barang branded.
"Rain, itu kayaknya Mbak Anti datang deh!" seru Tika seraya menghampiriku.
"Serius?" tanyaku dengan mata membulat.
"Lihat aja."
"Aduh, deg-degan banget aku, Tik. Gimana nih?" tanyaku cemas.
Tika menepuk-nepuk bahuku seraya tersenyum jahil. "Santai aja. Udah lihat fotonya juga, kan?"
"Ya udah, tapi kan ...." Aku menggantung kalimat. Bingung mendeskripsikan perasaanku saat ini.
"Aku doain, semoga lancar jaya kenalannya, Rain! Siapa tahu, gagal percintaan mulu, eh ... sama yang ini langsung gong!"
Belum sempat aku menjawab ucapan Tika, suara Mami terdengar memanggilku. "Raina! Mbak Anti datang!" seru Mami.
"Good luck, Rain!" Tika memberi semangat untukku.
Aku langsung berjalan keluar rumah, mendapati Mami sedang berpelukan dengan seorang perempuan. Sementara Papi berdiri di sebelah Mami dengan senyum lebar.
"Nah, ini Raina," kata Mami.
"Eh, ya ampun! Udah gede banget!" seru Mbak Anti dengan mata berbinar saat melihatku.
Aku meringis saat Mbak Anti memelukku singkat. Agak aneh sih, karena Mbak Anti nggak pernah ada di Jogja dan nggak pernah bertemu denganku. Aku cuma tahu wajah Mbak Anti lewat foto yang tergantung di dinding rumahnya, saat menemani Mami berkunjung ke sana.
"Mau sekarang aja?" tanya Mbak Anti.
Aku mengangguk, bingung harus menjawab bagaimana.
"Raina Anti bawa dulu ya, Om, Tante?"
"Om serahkan ke kamu ya, An?" pinta Papi.
"Siap, Om. Nanti begitu selesai, Anti bakal antar Raina pulang."
"Raina berangkat dulu ya?" pamitku pada Mami dan Papi.
"Sukses ya, Rain! Semoga jodoh," bisik Mami.
Aku cuma bisa mengelus dada kali ini. Baru kali ini, Mami dan Papi terlihat sangat bersemangat saat mengetahui aku akan berkenalan dengan seorang laki-laki. Well, lebih baik menyebut Mas Arden dengan sebutan laki-laki daripada cowok. Usia Mas Arden udah sangat matang, by the way. Kayaknya nggak cocok aku sebut cowok.
"Santai aja, Rain," kata Mbak Anti saat udah siap di belakang kemudi.
Aku menoleh, lalu tersenyum tipis. "Iya, Mbak." Aduh, gimana mau santai? Belum pernah chat, nggak tahu nama sosial medianya, tiba-tiba langsung ketemu aja! Kalau nanti akward, gimana nih?
"Serius lho, Dek. Pangling aku sama kamu," kata Mbak Anti seraya menyetir. "Terakhir aku lihat kamu pas SD. Itu aku pas sibuk-sibuknya dan nggak pernah pulang. Habis nikah juga pindah ke Kalimantan," tutur Mbak Anti.
"Iya. Tiap nemenin Mami ke rumah Mbak Anti, Mbak Anti nggak ada sih," jawabku. "Terus gimana ceritanya kok akhirnya pindah ke Jogja lagi?" tanyaku.
"Suami pindah tugas. Dan aku capek ikut dia pindah-pindah terus. Kasihan juga anakku kalau sekolahnya pindah lagi. Jadi, aku mutusin buat tinggal di Jogja aja. LDM, hehehe."
Obrolan kami berlanjut, kayaknya Mbak Anti tahu aku gugup. Jadi dia berusaha memancing obrolan lain agar aku sedikit tenang. Namun, begitu mobil Mbak Anti memasuki parkiran restoran, jantungku kembali berdebar. Jemariku terasa dingin. Di saat begini, rasanya pengin pulang aja! Ya Tuhan!
"Ayo, Rain."