Arden Wijaya
[Sent a photo]
Serius banget ya, makannya 😋
Me
Mas Arden, astaga!
Kapan coba foto aku? Kok aku nggak kerasa?
Arden Wijaya
Kamunya sibuk makan 😅
Ya ampun! Aku baru tahu, saat pertemuan pertama kami, diam-diam Mas Arden mengambil fotoku. Waktu itu, aku memang merasa, tatapan Mas Arden nggak lepas dariku. Cuma, nggak menyangka aja diam-diam dia mengambil fotoku dan disimpan di ponselnya.Â
Setelah pertemuan pertama kami waktu itu, aku dan Mas Arden udah saling menyimpan nomor ponsel. Well, kami mulai saling mengirim pesan walaupun nggak setiap saat. Aku nggak berharap Mas Arden akan cepat membalas pesanku atau ingin dikabari setiap waktu karena paham, jadwal kerja Mas Arden padat. Dia ada praktik di tiga tempat. Dan hal itu pasti menyita waktu serta energinya.
Arden Wijaya
Kata Anti, kamu ngekos ya?
Me
Iya, biar enak kalau bimbingan. Jadi, mutusin buat kos sampai nanti skripsi selesai.
Arden Wijaya
Kamu ada rencana pulang kapan, Rain?
Me
Besok siang aku ada bimbingan. Kayaknya habis itu dijemput supir buat pulang.
Arden Wijaya
Boleh nggak aku aja yang jemput kamu di kampus terus aku antar pulang?
Sekalian aku mau ke rumah kamu, kenalan sama keluarga kamu.
Astaga, astaga! Ini Mas Arden kenapa suka bikin aku jantungan ya? Tiba-tiba ketemuan, tiba-tiba curi fotoku saat makan. Sekarang, ada lagi gebrakannya. Baru beberapa hari kenal, udah langsung minta main ke rumah dan pengin berkenalan dengan keluargaku. Ou-em-ji!
Arden Wijaya
Nanti aku bakal kirim pesan ke mami kamu, buat izin jemput kamu besok. Kebetulan besok aku ada jadwal kerja pagi aja.
Begini nih, kalau kenalan sama laki-laki yang udah dewasa dan matang. Benar-benar bertanggung jawab. Padahal, Mas Arden belum pernah bertemu Mami dan Papi. Namun, dengan kesadaran penuh, dia akan mengirim pesan karena akan membawaku bersamanya saat pulang.Â
Me
Oke, Mas.
Besok kabar-kabar ya.
Aku segera menutup ponsel. Tanganku terangkat untuk meraba dada kiriku. Ini jantungku kenapa sih? Heboh banget detaknya.
Aku merenggangkan tubuh, memutarnya ke kanan dan kiri sebelum kembali fokus ke layar laptop. Meneliti lagi kalimat demi kalimat yang ku rangkai di sana. Harapanku cuma satu. Pak Arif kembali menulis ACC di lembarnya besok siang.
Sebetulnya, aku nggak tahu kenapa yang lain mengeluh sulit mendapatkan ACC dari dosen pembimbing. Padahal, saat aku menjalaninya, aku merasa lumayan mudah mendapatkannya. Entah, apa karena aku memang betul mengerjakannya, atau Pak Arif mudah memberi ACC karena melihat bagaimana kesungguhanku mengerjakan skripsi. Dari yang aku tahu, hampir nggak pernah ada yang menyusul dan mengejar bimbingan Pak Arif di luar kampus. Karena seringnya bertemu denganku, Pak Arif sampai hafal namaku, by the way! Menurutku, ini bisa menjadi poin plus buatku untuk ke depannya.
***