Mas Arden diterima di rumah dengan sangat baik. Saat aku dan Mas Arden sampai, Mami, Papi, Mas Revan, dan Mas Reno udah menunggu. Mereka kayak penasaran dan nggak sabar, pengin tahu seperti apa laki-laki yang dekat denganku sekarang. Ya walaupun hubunganku dengan Mas Arden belum sedekat itu.
"Salam kenal, Om, Tante, Mas," kata Mas Arden saat bertemu keluargaku dan menjabat tangan satu per satu untuk yang pertama kalinya. "Perkenalkan, saya Arden, temannya Anti."
"Ayo, masuk dulu! Anggap aja kayak rumah sendiri ya. Santai aja," kata Mami.
Aku beberapa kali melirik raut wajah keluargaku satu per satu. Saat melihat Mas Arden bersamaku, wajah mereka terlihat bahagia sekali. Berbeda dengan saat aku membawa mantan pacar atau gebetanku ke rumah. Dulu, mereka memang menerima dengan baik, dan nggak pernah mengekangku dekat dengan cowok mana pun. Namun, kali ini jauh berbeda. Kayaknya, mereka menganggap Mas Arden adalah jawaban dari doa mereka yang sangat diharapkan kedatangannya. Kalau tahu bakal begini, kenapa nggak dari dulu aja ya kenalin aku sama pilihan Papi dan Mami? Aku kan ... nggak perlu merasakan patah hati berkali-kali.
"Raina, tolong bilangin ke Mbak buat bikin minum ya?" pinta Mami. "Sekalian ganti baju dulu kamunya."
Aku mengangguk, dan berjalan ke belakang. Meninggalkan Mas Arden yang duduk di ruang tamu bersama keluargaku. Aku nggak perlu merasa khawatir meninggalkannya sendiri. Karena tahu, Mas Arden levelnya di atas mantan pacar dan mantan gebetanku dulu. Dia pasti akan jauh lebih bisa mengkondisikan semuanya dengan baik.
"Mbak, minta tolong bikinin minum buat tamu ya?" pintaku pada Mbak Rahmi, salah satu dari puluhan pegawai yang bekerja untuk keluarga kami.
"Calon suaminya Dek Raina, kan?" tanya Mbak Rahmi menggoda.
"Hush! Kata siapa?" tanyaku. "Baru juga kenal, Mbak."
"Itu, dari kemarin Ibu sama Bapak nggak bosen-bosennya bahas Dek Raina sama Mas Arden. Katanya Mas Arden itu calon suaminya Dek Raina," tutur Mbak Rahmi.
Ya ampun, aku nggak tahu lagi harus mengatakan apa. Mami dan Papi kayaknya punya ekspektasi lebih akan Mas Arden. Namun, kalau nantinya aku nggak berjodoh dengannya, gimana ya? Apa aku akan membuat mereka kecewa?
"Doain aja yang terbaik buat Raina ya, Mbak?"
"Pasti, Dek. Mbak doain," sahut Mbak Rahmi. "Mbak antar minum ke depan dulu ya?"
Saat Mbak Rahmi mengantarkan minum, aku langsung melesat ke lantai atas menuju kamarku untuk mengganti pakaian yang lebih santai, tetapi tetap terlihat sopan.
"Gimana, Rain?"
Kalau biasanya aku mendengkus melihat kedatangan Mas Revan, kali ini aku hanya bisa menggigit bibir dan menunduk malu. Tadinya, aku ingin segera turun menuju ruang tamu, tetapi kedatangan Mas Revan di kamar menggagalkan niatku.
"Apaan?"
"Cieee, salting sekarang," sahut Mas Revan seraya menyenggol lenganku. "Gimana yang ini? Lancar kan, perkenalannya?"
"Ya lancar-lancar aja."
"Jadi, gimana? Menurut kamu, Arden gimana?" tanya Mas Revan seraya menyugar rambutnya.
Aku menggaruk kepalaku yang nggak terasa gatal. "So far, dia baik, perhatian kok. Ya intinya baik lah orangnya."
"Maju nggak nih?"
Refleks, ku pukul lengan Mas Revan. "Mas, ya kali! Aku kenal sama dia baru aja loh. Belum ada dua minggu."
"Lah, cepet juga nggak apa-apa. Daripada pacaran lama ujung-ujungnya bubar kayak yang udah-udah, kan?" tanya Mas Revan dengan senyum jahil.
"Tahu ah, Mas! Sukanya gitu," rengekku.
Mas Revan langsung tertawa keras. "Canda, Rain! Ya ampun, canda!" katanya. "Serius nih! Kalau dia maju, kira-kira kamu gimana? Maju juga nggak?"
"Gimana ya, Mas? Belum ada obrolan ke arah asmara sih! Nanti deh kalau udah ada hilalnya, aku curhatin," sahutku.