Sejak aku mengatahui siapa aku sebenarnya, pandanganku akan Mami, Papi, Mas Revan, dan Mas Reno ikut berubah.
Aku yang sejak dulu sering merasa kesal karena nggak boleh melakukan hal ini, nggak boleh melakukan itu, banyak protes yang ku lontarkan. Dulu, aku menganggap mereka membatasi duniaku.
”Mi, Raina lolos casting film!”seruku ceria.
”Jangan dilanjutkan, Rain. Dunia entertainment itu kejam. Banyak selebriti yang memakai narkoba demi bisa tampil percaya diri dan eksis. Mami sama Papi nggak mau kamu terjerumus nantinya.”
Saat itu, aku merasa kecewa. Saat menjadi pemain figuran aja, mereka nggak melarang. Lalu, kenapa saat aku lolos casting menjadi peran yang cukup menonjol, mereka nggak memberi izin?
”Raina pengin kuliah di Jakarta. Boleh, ya?”
”Buat apa, Rain? Di Jogja banyak kampus bagus. Mas Reno sama Mas Revan aja kuliah di Jogja. Bahaya kuliah di Jakarta. Nanti kalau kamu diculik gimana?”
Dulu aku merasa, Mami dan Papi egois. Selalu melarang apa yang ingin aku lakukan. Padahal, aku punya potensi untuk diasah. Dan sekarang … saat aku mengingat semua hal yang udah lewat, membuatku sangat menyesal.
Harusnya aku nggak banyak protes dan berakhir ngambek ketika keinginanku nggak dituruti. Harusnya aku merasa bahagia karena mereka begitu memperhatikan hidupku. Menelisik dengan baik setiap langkahku. Penyesalan memang selalu datang di akhir, karena kalau didepan namanya akan menjadi pendaftaran, kan? Saat semuanya terkuak, aku baru menyadari. Kasih sayang dan cinta yang mereka berikan begitu besarnya, begitu tulusnya.
Bahkan ketika orang tua kandungku membuangku, meninggalkanku sendirian di pinggir jalan yang dingin, ada orang yang menginginkan aku begitu besarnya. Mencintaiku dengan sangat hebat. Dan orang-orang itu adalah keluargaku. Papi, Mami, Mas Reno, dan Mas Revan. Yang merawatku dengan sangat baik, memberiku fasilitas terbaik, sehingga aku tumbuh jadi perempuan yang baik sampai sekarang.
Mas Reno dan Mas Revan, walaupun mereka berdua nggak memiliki ikatan darah denganku, mereka juga begitu menyayangiku. Menjagaku, nggak ingin melihatku terluka. Dan mereka ... tetap menganggapku sebagai adik kandung mereka.
Lalu, Mas Arden. Saat Mami dan Papi mengajaknya bicara waktu itu, ternyata Mami dan Papi menceritakan hal seperti yang mereka ceritakan padaku. Mereka pikir, Mas Arden akan mundur begitu tahu kebenarannya. Namun, Mas Arden dengan lantangnya mengatakan, tetap menerima aku apa adanya. Dengan statusku di keluarga ini. Dia sama sekali nggak perduli dari mana aku berasal. Bahkan, orang tuanya menyerahkan keputusan ini di tangannya. Mereka semua, menerimaku dengan baik, dengan segenap ketulusan hati mereka.
Aku beryukur, Tuhan menghadirkan orang-orang yang baik di hidupku. Walaupun aku tahu kebenaran yang menyakitkan, tetapi hatiku sama sekali nggak menyimpan rasa benci.
Mungkin, dulu orang tua kandungku belum siap memiliki anak.
Mungkin, dulu orang tua kandungku kesulitan masalah keuangan sampai merelakan aku dari kehidupan mereka.
Siapapun orang tua kandungku, aku nggak akan menghakimi mereka. Aku udah memaafkan. Saat ini, harapanku adalah bisa bertemu dengan orang tua kandungku. Jika Tuhan mengizinkan aku bertemu dengan mereka, aku akan berterima kasih karena telah membawaku ke dunia ini. Tanpa mereka juga, aku nggak akan menjadi Raina Marissa seperti saat ini, yang bisa berjalan di atas kaki sendiri.
"Mas, kenapa nggak cerita apa-apa sama aku?" tanyaku pada Mas Arden saat mobilnya berhenti di depan gerbang rumah.