"Ya ampun! Jadi, kamu menghindar kemarin, gara-gara itu, Rain?"
Mas Arden kehilangan kata-kata saat mendengar penjelasanku, kenapa aku sempat menghindarinya selama hampir satu minggu lamanya. Aku menunduk, takut menatap Mas Arden.
"Rain, kalau yang kamu takutkan karena status keluargaku, percayalah. Keluargaku bukan kayak pejabat-pejabat lain. Memang, beberapa sepupuku punya jabatan penting di pemerintahan. Tapi, semua itu nggak berpengaruh apa-apa di kehidupan kami," tutur Mas Arden.
"Aku ya tetap aku kayak yang kamu kenal. Begitu juga dengan keluargaku. Kalau kamu takut berkonflik sama mama dan kakak-kakakku, please deh. Mereka bukan tipe yang suka ikut campur urusan orang, karena udah keburu pusing sama kerjaan. Mereka bahkan nggak akan ngeh kalaupun kamu bikin kesalahan."
"Mas, aku udah bilang kan, kalau aku itu nggak bisa apa-apa? Aku nggak bisa masak, nyetir sendiri aja belum dibolehin sampai sekarang," kataku mengingatkan.
"Iya, aku ingat. Dan keluargaku nggak akan benci sama kamu karena hal itu. Kita akan jadi jodoh, karena banyak hal yang sama dan setara. Ya ini contohnya. Kamu bilang nggak bisa masak, sama kok. Kakak-kakakku nggak ada yang bisa masak. Kita semua, kalau mau makan ya pesan di luar. Sekarang ada gojek, gampang kalau mau makan. Beres-beres rumah? Bisa panggil jasa buat beresin rumah. Apa lagi yang kamu takutkan? Apa lagi yang kamu khawatirkan?" tanya Mas Arden lagi.
Aku menghela napas panjang. "Emang keluarga Mas Arden udah tahu tentang aku?"
Mas Arden tersenyum seraya geleng-geleng. "Dari sebelum ketemu kamu pun, aku udah sampaikan ke keluargaku kalau aku mau kenalan sama cewek yang seumuran sama keponakanku."
"Terus, respons mereka gimana?" tanyaku khawatir.
"Mereka godain lah. Itu udah jelas. Ya gimana? Aku milih cewek yang masih muda banget. Keponakan-keponakanku juga ikut ngeledekin aku karena hal ini. Selebihnya, mereka menyerahkan semua pilihan ke aku. Aku kan akan menjalani hidupku sendiri ke depannya. Kalau buatku, aku ngerasa bahagia, mereka akan dukung. Aku juga udah bilang ke keluargaku, kalau aku serius kali ini. Aku mau menikah sama kamu."
Aku nyaris tersedak air liurku sendiri. Mas Arden memang nggak bisa basa-basi. Gila emang! Semua yang terucap dari mulutnya bisa aja bikin orang kena serangan jantung.
"Me ... menikah, Mas?" tanyaku memastikan.
"Iya." Mas Arden mengangguk mantap. "Kan emang ke situ tujuannya. Menikah sama kamu."
Kalau aku jadi ikan, udah pasti aku mirip ikan yang keluar dari kolam. Menggelepar di lantai karena kekurangan oksigen dan butuh air untuk bernapas. Mas Arden! Jeritku dalam hati, melihat bagaimana santainya dia berbicara tentang pernikahan.
"Orang tua Mas belum kenal dan belum tahu aku, lho!" kataku mengingatkan kalau dia lupa.
Aku adalah orang asing yang akan masuk ke keluarga mereka. Dan mereka nggak ada rasa penasaran ingin melihat sosokku? Aku yakin, penampilan fisik pun akan mempengaruhi semuanya. Selain otak dan status sosial keluarga.
"Lusa, Papa Mamaku juga kakak pertamaku mau perjalanan ke Jogja. Pengin kenalan sama kamu."
"Hah?!" pekikku seketika. Ya Tuhan! Aku mau pingsan aja rasanya!
***
Mas Arden serius saat mengatakan orang tua serta kakaknya akan pergi ke Jogja. Karena dua hari setelahnya, Mas Arden kembali datang ke rumah dan meminta izin pada Mami dan Papi. Akan membawaku bertemu dengan orang tuanya di sebuah restoran.
Ini hal yang ku pertanyakan dari kemarin. Mas Arden mengatakan serius denganku, tetapi nggak kunjung mempertemukan aku dengan orang tua dan keluarganya. Rupanya, orang tua Mas Arden sibuk dan menunggu waktu yang pas untuk datang ke Jogja. Pola pikirku masih kayak ABG labil deh. Dan aku jadi malu sendiri.
"Mereka udah sampai," kata Mas Arden setelah mengecek ponselnya.
Satu hal yang membuatku kagum. Mas Arden benar-benar menjagaku. Dia nggak pernah mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya. Padahal aku tahu, dia memiliki rumah di Jogja. Gimana bisa, ada orang yang berpaling dari laki-laki sebaik ini?
Aku menahan napas kali inu. Kami udah sampai di restoran tempat pertama kali bertemu. Namun ternyata, orang tua Mas Arden udah sampai di sini lebih dulu. Yang artinya, aku nggak akan bisa bersantai sebelum bertemu. Udah dipastikan akan merasakan hawa tegang sampai satu atau dua jam ke depan.
"Santai aja, Rain," kata Mas Arden. "Kamu kelihatan tegang banget loh!"
"Masa sih?" tanyaku, lalu tertawa sumbang.
Mas Arden nggak membukakan pintu mobil untukku. Jadi, aku menyusulnya turun dari mobil. Berusaha berdiri sangat dekat dengannya.
Mataku terbelalak ketika mendapati tangan Mas Arden perlahan menyusup di sela-sela jemariku, dan berakhir menggenggamnya erat. Aku hanya bisa menatap wajahnya yang dipenuhi senyum, seraya menarik tanganku lembut mengikuti langkahnya.
"Pap, Mam," sapa Mas Arden.
"Hei! Baru sampai?" tanya laki-laki yang sudah cukup berumur dan ku yakini sebagai papa Mas Arden.
Mas Arden melepas genggaman tanganku, lalu menyalami Papa dan Mamanya dengan sopan. Setelah itu, Mas Arden menoleh ke arahku. "Kenalin nih, Pap, Mam. Ini yang namanya Raina."
Barulah aku maju, bersalaman dengan orang tua Mas Arden. Aku pikir, kami hanya akan bersalaman biasa. Namun, Mama Mas Arden malah memelukku dan mencium kedua pipiku.
"Aduh, Si Geulis," kata Mama Mas Arden begitu selesai mencium pipiku.
"Salam kenal, Om, Tante," kataku sambil sedikit mengangguk memberi salam.