Arden Wijaya
Raina, kenapa nggak angkat teleponku?
Arden Wijaya
Kamu kenapa, Rain?
Arden Wijaya
Rain, bilang kalau aku ada salah ya?
Arden Wijaya
Kamu lagi sibuk bantuin kantor ya? Kalau udah nggak sibuk, balas pesanku ya, Rain?
Aku mendesah saat membaca pesan Mas Arden nggak nggak pernah ku balas sejak beberapa hari yang lalu. Aku tahu, aku jahat. Aku tega mendiamkan Mas Arden yang mungkin nggak paham dengan apa yang ku rasakan. Padahal, kami pernah berjanji untuk saling menerima semua kekurangan dan kelebihan satu sama lain.
Namun, kali ini bukan aku yang dikecewakan. Aku yang membuatnya kecewa. Aku pun bimbang dengan apa yang akan terjadi dengan hubungan kami selanjutnya. Semua terlalu rumit untukku.
Aku mendiamkan Mas Arden sejak dia mengirimkan foto keluarganya padaku. Dia menjelaskan secara singkat siapa aja yang ada di foto itu. Sejak mengetahui siapa dan bagaimana keluarga Mas Arden, aku berusaha menjaga jarak. Semua pesan, telepon yang masuk dengan nama Mas Arden ku abaikan begitu aja. Dan hal itu membuat hatiku berdenyut ngilu, entah kenapa.
Bukan apa-apa. Keluarga Mas Arden bukan keluarga sembarangan. Semua kakaknya punya jabatan dan pekerjaan yang mentereng. Walaupun mama Mas Arden adalah seorang ibu rumah tangga, tetapi memiliki penghasilan fantastis dari bisnis ruko dan kontrakan di Kota Bogor.
Yang paling penting adalah papanya. Papa Mas Arden adalah orang penting di Departemen Kehutanan. Memiliki pabrik kayu di Bintuni, Papua. Berusia hampir 80 tahun, tetapi masih bugar, sehat, dan masih aktif dalam rapat-rapat di Jakarta.
Aku tahu, keluargaku merupakan keluarga yang berkecukupan. Namun, jika disandingkan dengan keluarga Mas Arden ... aku bergidik. Terlalu jauh jaraknya. Hal yang sukses membuatku merasa insecure.
Dari kemarin aku merenung, memikirkan banyak hal. Apakah aku bisa, menyesuaikan diri dengan keluarga Mas Arden yang glamor? Gimana kalau nantinya, aku sulit membaur dengan mereka dan terkucilkan? Bukannya malah akan menyusahkan posisi Mas Arden dalam keluarga?
Suara ketukan di pintu kamarku sukses membuyarkan semua yang menari-nari di kepala.
"Siapa?"
"Mami sama Papi, Rain. Boleh kami masuk?" tanya Mami.
Aku mendesah. Papi dan Mami, pasti akan membahas tentang hubunganku dan Mas Arden yang terlihat agak renggang akhir-akhir ini. Well, sejak aku nggak lagi membalas pesannya, Mas Arden nggak lagi datang ke rumah. Saat Mami menanyakan kabar Mas Arden pun, aku terlihat bingung menjawab.
Sebetulnya aku nggak punya tenaga untuk membahas hal ini hari ini. Namun, pendapat dari Mami dan Papi sangat ku butuhkan saat ini. Mungkin, setelah menceritakan semuanya pada Mami dan Papi, pikiranku kembali jernih.
"Masuk aja," sahutku.
Lalu, pintu kamar terbuka. Menampakkan Mami dan Papi yang ada di sana, menutup pintu kamar kembali dan berjalan menghampiriku yang duduk bersandar di kepala ranjang.