Hari ini, aku akan pergi dengan Mas Arden. Berburu barang-barang yang digunakan untuk seserahan nanti. Ehm, memang. Acara lamaran kami hanya akan digelar secara sederhana. Hanya mengundang keluarga inti dan beberapa keluarga yang dituakan. Benar-benar intim. Tanpa dekor dan tetek bengek yang lain. Keluarga Mas Arden pun bukan tipe yang ribet harus ini itu. Malah, mereka ingin seserahan dititipkan di rumah kami. Dan akan dipajang saat acara pernikahan nantinya.
Walaupun tanggal pernikahan belum ditentukan, karena acara lamaran baru akan diselenggarakan minggu depan, tetapi Mas Arden ingin semua persiapan dicicil dari sekarang. Well, jadwal kerjanya sangat padat. Dia nggak mau nantinya terburu-buru.
Sebenarnya, aku udah siap dari tadi. Namun, Mami dan Papi ingin mengobrol dengan Mas Arden terlebih dahulu sebelum kami pergi. Aku nggak tahu apa yang akan mereka bicarakan. Perasaanku mengatakan, obrolan itu tentang persiapan lamaran kami.
"Rain, udah ditunggu Arden," kata Mami setelah membuka pintu kantor.
"Oke," jawabku, lalu mengambil sling bag. Lalu, menyusul Mami menuju ruang keluarga di mana Mas Arden menunggu.
"Mau sekarang?" tanya Mas Arden.
"Yuk! Nanti keburu siang," kataku.
Kami pun segera berpamitan. Agak aneh saat melihat wajah Mami yang agak sendu. Matanya terlihat seperti habis menangis. Membuatku bertanya-tanya, obrolan apa yang membuat Mami terlihat agak sedih begitu?
Apakah Mami enggan melepasku untuk menikah? Karena menganggapku masih seperti gadis kecilnya? Aku tahu, mereka menyayangiku begitu besar. Namun, kalau sampai nggak rela melepasku menikah, aku pikir itu terlalu berlebihan.
Mas Arden pun terlihat lebih hati-hati saat pergi bersamaku. Dari gerak-geriknya, terlihat kayak dia lebih ekstra dalam menjagaku.
"Kamu mau pilih Rose Diamond atau Diamond Pavillion?" tanya Mas Arden yang sukses membuatku terkejut.
Ini ... nggak salah? Mas Arden menawariku berlian untuk seserahan? Gila! Ini di luar nalar!
"Mas," lirihku, lalu berdeham. "Cincinnya yang biasa aja nggak, sih? Toh, aku jarang ada acara-acara. Kalau beli berlian, kok kayaknya sayang."
"Dicoba aja dulu, Rain. Nanti kita pesan juga yang couple," jawab Mas Arden.
Oke. Dengan hati menangis, aku menuruti Mas Arden untuk mencoba cincin berlian. Namun, sepertinya semesta memihakku. Semua cincin itu terlalu besar di jariku. Well, jariku terlalu mungil. Dengan senyum lebar, aku mengantungi kemenangan. Membuat Mas Arden pasrah karena kalah.
Pada akhirnya, kami memesan cincin pasangan. Untuk desain, Mas Arden menyerahkannya padaku. Dia nggak pintar untuk memikirkan desainnya. Dan, dia bilang, aku bebas memilih yang aku suka. Demi mewujudkan wedding dream-ku.
"Kalau dalaman, biasa kamu pakai apa, Rain? Wacoal, atau Pierre Cardin?"
Aku nyaris tersedak lagi. Nggak, nggak! Aku bukan tipe orang yang harus memakai merk tertentu hanya untuk digunakan sebagai dalaman. Wacoal? Pierre Cardin? Astaga! Aku menangis jika menghabiskan ratusan ribu hanya untuk membeli kain tipis seperti itu. Buatku, The Bra House aja udah cukup bagus dan nyaman.
"Mas, aku pilih yang lain aja, ya? Biasa aku beli di The Bra House," lirihku.
"Nggak apa-apa. Sekali-kali beli aja di sini," kata Mas Arden saat kami berada di depan Wacoal. “Pilih beberapa pasang yang kamu suka.”
"Tapi, Mas ...." Aku sedikit merengek kali ini. Nggak tega dengan uang Mas Arden. Mengeluarkan uang tiga ratus sampai lima ratus ribu hanya untuk satu pasang bra dan celana dalam. Dan dia memintaku memilih beberapa, katanya? Gila memang!
"Udah, sana masuk! Aku tunggu di luar ya? Kamu pilih aja mana yang kamu suka," ujar Mas Arden seraya mendorong bahuku lembut.
Tuhan! Aku menjerit dalam hati. Merasa panik saat kakiku melangkah memasuki toko. Aku bersumpah, aku akan membeli dengan harga yang paling murah di toko ini!
***