Beberapa gadis remaja, bahkan semua mungkin, menginginkan kehidupan seperti Nathalie. Kehidupan seperti di negeri dongeng. Tinggal di rumah mewah. Memiliki banyak harta. Tidak kurang kasih sayang dari orang tuanya. Selalu mendapat barang bermerek setiap ayahnya pulang dari luar negeri. Semua itu adalah sisi kehidupan Nathalie yang begitu indah.
Berbanding terbalik ketika Nathalie berada di sekolah. Nathalie mendapat tatapan meremehkan. Dikucilkan teman sekelasnya. Dan lebih mengerikan lagi, wali kelasnya bersikap tidak adil, bahkan menganggapnya seperti bukan manusia.
Pintu berukuran besar dan tinggi mencapai tiga meter terbuka. Nathalie masuk ke dalam rumah mewahnya. Kedatangannya disambut oleh dua pelayan berseragam hitam. Topi putih terpasang di kepala mereka.
“Selamat datang, Non.” Kedua pelayan menyapa, membungkuk sopan.
Nathalie tersenyum. Ia tidak pernah memperlakukan asisten rumah tangga semena-mena. Mereka telah merawatnya sejak ia masih kecil. Jadi, tiap kali pergi jalan-jalan ke luar negeri, ia tidak lupa membelikan oleh-oleh untuk pembantu di rumahnya.
“Momy di mana, Mbak?” Usia kedua pelayan itu tidak tua membuat Nathalie memanggilnya ‘Mbak’. Ia memberikan tas kepadanya.
“Nyonya ada di ruang keluarga, Non. Sejak tadi menunggu kedatangan Non Nathalie,” kata pelayan.
Mendengar itu, Nathalie menemui ibunya di ruang keluarga. Ruang keluarga satu arah ke kamar Nathalie. Ia melihat ibunya duduk di sofa bergaya Eropa. Ayah membeli itu ketika sedang perjalanan bisnis.
Ruang keluarga memiliki televisi berukuran 21 inci tertempel di dinding. Rak-rak kaca berisi koleksi buku, guci kuno, barang-barang unik yang ayahnya dapat dari Jepang, dan beberapa lagi sebuah pigura keluarganya.
“Momy,” panggil Nathalie ceria.
“Hai, Sayang. Sudah pulang, bagaimana sekolahmu?”
“Semua baik. Teman-teman baru Natha juga baik hati semua, membantu Natha beradaptasi dengan suasana kelas baru.”
“Kamu benaran merasa senang, kan, di sekolah barumu? Kalau masih nggak nyaman, Daddy bisa memindahkanmu ke sekolah lainnya.”
“Ih, kok begitu, sih. Nanti kalau Nata pindah-pindah sekolah dikira manusia nomaden, dong.” Nathalie merajuk di pelukan ibunya.
Ibu tertawa. Gemas sendiri dengan tingkah Nathalie.
Nathalie tidak berani bercerita tentang masalah di sekolahnya. Bukan karena ia takut dipindahkan ke sekolah baru lagi. Melainkan karena ada satu misi yang sangat ingin ia jalankan, jadi ia terpaksa berbohong kepada ibunya.
Miranti Reswana. Wanita berkepala empat ini mempunyai usaha butik yang namanya sudah merajalela. Nata’s Shop, sebuah butik yang memiliki tiga cabang di Jakarta dan satu cabang di Bandung. Butik ini menjual pakaian elegan dan mewah untuk dipakai di pesta-pesta konglomerat. Artis kenamaan pun pernah memakainya. Bahkan ada beberapa artis menjadikan butik Miranti sebagai langganan. Nata’s Shop pun beberapa kali dimuat ke majalah fashion, dalam negeri maupun luar. Selain berhati lembut dan ramah, Miranti masih terlihat cantik meski usia tidak lagi muda. Jadi, tidak mengherankan Nathalie mempunyai wajah cantik dan berhati baik.
“Temenin Momy, ya?”
“Ke mana, My?” tanya Nathalie penasaran.
“Ke salon. Momy sudah lama nggak potong rambut. Kamu juga sebagai perempuan harus merawat rambut, nanti di sana kamu minta di-creambath juga.” Miranti beranjak berdiri sambil memegang kedua bahu anaknya supaya ikut berdiri di sampingnya.
Meski ogah-ogahan, Nathalie menuruti permintaan ibunya. Sebenarnya hari itu, Nathalie malas pergi ke luar rumah, ingin merebahkan diri di kasur. Namun, ia pun sulit menolak. Ibunya jauh lebih penting daripada sekadar rebahan di tempat tidur.