Putri Nathania berdiri di depan pintu kamar Pangeran Nathan, dengan kepala tertunduk menyembunyikan rasa sakit yang tidak bisa ia pahami, baru kali ini ia merasa sangat kesepian.
Pagi ini, ketika dia terbangun dari tidurnya, orang pertama yang dia pikirkan adalah Nathan. Seseorang yang sangat ingin ia temui, bukan tanpa alasan. Semua orang tahu kalau Pangeran Nathan dan Putri Nathania adalah saudara kembar yang telah bersama sejak mereka lahir.
Putri Nathania yang lahir lima menit lebih awal dari Pangeran Nathan bahkan hampir tidak pernah melepaskan tangannya dari adik laki-lakinya itu, mereka seolah tak terpisahkan. Namun, sejak Pangeran Nathan mulai jatuh sakit lima bulan yang lalu, mulai saat itu, sedikit demi sedikit, orang-orang disekitar mereka mulai membuat jarak di antara mereka berdua.
"Nathan," Nathania mulai menangis. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Nathan dan mengapa penyakitnya tidak kunjung sembuh.
Air matanya mengalir di pipinya yang memerah. Meski berusaha menahannya, baginya ini terlalu menyesakkan. Mungkin, hanya dia yang mengerti betapa menyakitkannya hal itu.
“Putri Nathania?” Helena yang tiba-tiba berdiri di belakangnya berseru. Nathania segera menoleh, memperlihatkan sorot matanya yang sedih.
"Mengapa tuan putri menangis?" Tanya Helena, ia langsung membungkuk dan menyentuh pipi gadis kecil ini dan berusaha menenangkannya.
"Helena?" Ucapnya sambil menahan air mata, suaranya bergetar.
"Apa yang membuat Putri Nathania menangis?" Tanya Helena lirih sambil mengusap air mata yang mengalir di pipi sang putri.
"Helena, apakah Nathan sudah bangun?"
"Tuan Putri sangat merindukan Pangeran Nathan, bukan?" Tanya Helena, Nathania mengangguk dan air matanya terus mengalir. Ia masih belum bisa mengendalikan perasaannya.
"Apakah Nathan akan sembuh?"
"Pangeran Nathan pasti akan sembuh, percayalah!" Helena menatap Putri kecil di hadapannya, dia pun merasa sedih. Sebagai seseorang yang telah merawat sang Putri sejak ia lahir, ia bisa memahami kesedihannya.
Mereka dilahirkan bersama ke dunia ini, tumbuh dan menjalani hidup bersama pula. Melakukan semuanya bersama-sama, tapi sekarang, mereka tampak terpisah. Hal itu, pasti membuatnya merasa kesepian.
"Tuan Putri ingin mengunjungi Pangeran?"
"Apa boleh?"
"Iya, aku akan mengganti selimut Pangeran Nathan. Tuan Putri bisa melihat Pangeran sebentar ya?"
"Mau! Thania mau!" Jawabnya riang, ekspresinya langsung berubah.
Helena dan Putri Nathania masuk ke dalam kamar Pangeran Nathan. Sunyi, ruangan luas ini terasa sangat sunyi. Di atas tempat tidur, Pangeran Nathan masih terbaring dan belum terbangun sejak tiga hari yang lalu.
"Helena, bisakah Thania mendekat?" Ia bertanya penuh harap.
"Tentu saja, Tuan Putri!"
Perlahan Nathania melangkah mendekati tempat Nathan terbaring dan masih enggan membuka matanya. Putri Nathania menatap wajah saudara laki-lakinya yang pucat, ia merasa sangat sedih.
"Nathan?" Gumamnya dengan suara bergetar. Ia berusaha menahan tangisnya karena ia telah berjanji pada ibunya untuk tidak menangis.
"Maafkan Thania, maaf karena Thania telah mengingkari janjinya untuk tidak menangis, maaf-" ucapnya sambil menangis sedih. Bagaimana bisa seorang anak berusia lima tahun dipaksa untuk tidak menangis setiap kali melihat saudara yang sangat ia sayangi terbaring tak berdaya?
"Putri?" Helena yang berdiri di sudut ruangan, ia tidak berani mendekat. Ia merasa bersalah karena telah membuat Putri Nathania menangis karena telah mengizinkannya bertemu dengan Pangeran Nathan.