Matahari telah termakan gelap, meninggalkan semburat cahanya orange yang menghiasi langit sore. Dengkuran burung hantu hilir mudik memecah kesunyian, diiringi dengan suara jangkrik yang menyelimuti malam. Udara dingin malam bak selimut tembus pandang menjilat kulit pemuda yang sedang berada di luar rumah kala itu.
Langit telah berubah, menjadi gumpalan awan hitam pekat seperti kapas yang tertumpah cat warna hitam. Aroma petrichor mulai tercium menyengat. Tetesan-tetesan air hujan mulai mengetuk jendela kamarku, bertambah deras seiring berjalannya waktu.
Namaku Liam, usiaku 16 tahun, kelas sebelas. Aku baru pindah dari Jakarta bulan lalu, ayahku dipindah tugaskan menjadi seorang kepala kepolisian kota semarang. Sulit untuk menerima bahwa kami akan pindah ke luar kota, terutama untukku pribadi. Ya, bagaimana bisa? Aku telah tinggal sejak lama disana, sudah mengenal banyak teman dan tak mungkin aku meninggalkannya begitu saja. Mungkin kali ini akan menjadi hal yang terberat dari kehidupan ku. Meski menjadi kepala kepolisian adalah keinginan ayahku sejak lama, aku harus mulai menerimanya. “Kehidupan baru, cerita baru” begitulah ayahku menyemangatiku.
Kehidupan baru ini membuatku selalu bertanya-tanya pada diriku, entah apa yang terjadi pada hari esok, atau mungkin lusa, bahkan bulan depan. Kebiasaanku selalu melamun, mengamati berbagai hal yang membuatku selalu ingin tahu. Mungkin ini yang membuatku sedikit berbeda dengan anak seusia kalian. Tetapi kebiasaanku itulah kadang, membuat orang selalu penasaran dengan jati diriku.
Kebiasaan ini telah aku dapat sejak aku berumur lima tahun. Ayahku pernah bercerita kepadaku tentang kebiasaan unikku ini. Kala itu saat rumahku masih di Jakarta, entah mengapa aku selalu mencoba merusak sesuatu dan merakitnya kembali. Ayahku selalu bingung tentang kebiasaanku ini. Katanya, jarang sekali anak berumur lima tahun bertingkah seperti itu. Tapi, itulah alasan mengapa orang tuaku selalu menyayangiku. Karena aku berbeda dengan yang lain.