Langit terlihat sedang memuntahkan sinarnya. Gumpalan awan menyibak, terbelah menjadi dua memperlihatkan matahari yang gagah perkasa. Pancaran hangat sinar matahari berlahan terlihat, menerpa lembut batang hidungku. Kabut sedikit terlihat, kemudian lambat laun menghilang begitu saja.
Pagi hari ini, telah genap sebulan aku bersekolah sekaligus tinggal di semarang. Meskipun hari ini tak ada yang berbeda dari hari-hari biasanya, aku yakin setiap hari ada hal-hal baru yang menungguku disana. Entah itu teman baru, guru baru, ataupun mungkin bahkan dunia baru.
Dengan rambut yang basah dan berantakan, aku bergegas menuju meja makan. Aku juga melihat ayah tampak merapikan topi cokelat-nya yang masih miring. Semua penuh dengan semangat hari ini, Entah ibu yang bersemangat menyiapkan sarapan, atau ayah yang tampil rapi hari ini.
“Liam, dari mana saja kamu? Berkali-kali Ibu te-riaki kamu untuk sarapan, sampai serak suara ibu. Ini sudah hampir setengah tujuh. Nanti kamu terlambat” Ibu menghela napas sekejap, kemudian menghidangkan nasi untukku. Wajahnya masih diliputi rasa kesal, oleh keterlambatanku.
Meskipun ibu terlihat marah, aku masih saja berusah menahan tawaku. Aku suka melihat ibu marah. Apalagi ketika ibu sedang marah, ibu sering sekali menggerutu. Ditambah lagi dengan celemek kotornya yang berantakan dan penuh noda gosong. Sudah bisa dibayangkan bukan? Betapa lucunya ibu.
“ Benar itu Liam, turuti lah…apa kata ibumu ini. Jangan buat ibumu marah, nanti dia cepat tua. Nggak cantik lagi.” Ayah menasihatiku untuk menggoda ibu yang terlihat sedikit kesal di raut wajahnya. Menarik pelan kursi, kemudian duduk.
Aku menatap wajah ayah dengan senyuman kecil