Istana Kerajaan memiliki banyak ruang dengan fungsinya yang beragam. Kamar hunian, ruang tahta, aula perjamuan, tempat pertemuan, dan lain sebagainya. Di antara semua ini, ada satu lokasi yang merupakan tempat terbesar di seluruh Kastil, yakni ruang perpustakaan.
Ada ribuan buku, makalah dan jurnal dari berbagai zaman yang diwariskan dan dijaga baik oleh keluarga kerajaan.
Deretan besar rak buku berjejer memenuhi ruangan, hampir mustahil melihat sudut tempat yang tidak ada buku di dalamnya. Di beberapa titik tempat, disematkan juga deretan meja dan kursi, mengakomodir mereka yang berkunjung.
Di tengah ruangan, yang merupakan salah satu tempat dengan ketersediaan meja dan kursi, Alicia terduduk, begitu fokus menulis di buku catatannya, sesekali dia akan melirik buku yang terbuka di sampingnya, sebelum kembali menulis.
Tak jauh darinya, seorang pria yang hanya beberapa tahun lebih tua dari Alicia, menatap gadis itu dengan aneh. "Tuan Putri, apa hari ini anda salah makan?"
Alicia menghentikan aktifitasnya, menatap bingung. "Tuan Hilman, apa maksudnya?"
Hilman terbatuk. "Ehem, maaf atas ketidaksopananku, tapi... Tuan Putri, hari ini anda begitu rajin tidak seperti biasanya."
Alicia cemberut tak senang. "Hmph! biasanya juga rajin kok."
Hilman menggeleng tak berdaya, Putri Alicia jelas berbeda dari biasanya, seharusnya, saat ini gadis itu tengah terduduk layu, mengerjakan tugasnya dengan malas, dan berharap sesi belajar hari ini akan berakhir secepatnya.
Karenanya, pemandangan Putri Alicia, mengerjakan segala sesuatu dengan penuh semangat, membuatnya heran. Tapi dirinya tak mengoreksi lebih dalam, sudah bagus bahwa dia memiliki motivasi belajar, Hilman hanya berharap bahwa ini tidak akan hilang dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Alicia lanjut menulis, mengerjakan tugasnya, sepenuhnya mengabaikan tutornya yang bertugas untuk mengajarinya ilmu pengetahuan umum. Namun, di setiap sesi belajarnya, sesekali Alicia akan melirik pada jam mekanik yang diletakkan di atas pintu ruang perpustakaan.
Meskipun dia begitu antusias dalam mengerjakan tugasnya, dirinya tahu bahwa antusiasme ini lebih ditujukan pada apa yang akan terjadi setelah jam belajarnya. Lagi pula, ada kencan penting yang menunggunya.
Waktu berlalu hingga ketika Hilman melihat bahwa jam sudah menunjukkan akhir sesinya, dia menutup buku dan berkata. "Baiklah Tuan Putri, mari kita akhiri-"
"Yey!!"
Bahkan sebelum Hilman menyelesaikan kata-katanya, dirinya tersentak, terkejut akan ledakan Alicia.
Tanpa memperdulikannya, Alicia bangkit, tak sengaja menyenggol bukunya dan jatuh ke lantai, tapi gadis itu juga tampak tidak peduli karena dia segera berlari ke luar perpustakaan dengan sorakan bahagia.
Hilman, yang ditinggal sendiri, butuh waktu beberapa saat untuk kembali tenang. Dia meraih buku Alicia yang terjatuh, menepuk ringan untuk membersihkan.
Menatap ke arah pintu perpustakaan yang terbuka lebar, tempat dimana gadis itu pergi dan menghilang, Hilman menggeleng dengan senyum pahit sebelum mulai berbenah, membereskan tempat belajar mereka sebelumnya.
***
Ren duduk di bangku taman, menunggu kedatangan seseorang. Ada banyak taman di Istana, tempat saat ini dia berada adalah taman yang paling dekat dengan kamar Alicia, dia bahkan bisa melihat jendela kamar gadis itu dari sini.
Pikirannya dipenuhi akan misi yang akan datang. Dia bertanya-tanya, perlukah memberi tahu Alicia akan hal ini. Dia meresa lebih baik untuk tidak mengatakan apa-apa, tapi hatinya agak berkonflik karena menyembunyikan sesuatu yang penting dari seseorang yang dia cintai.
Konflik batinnya terinterupsi saat indranya sebagai Master Pedang, merasakan pergerakan yang mengarah padanya, itu masih cukup jauh, tapi dia sudah bisa merasakan. Menunggu sesaat, Ren mendengar suara langkah kakinya dan bisikan yang memanggil.
Menoleh, Ren dihadapkan pada pemandangan yang aneh. Dia melihat seseorang yang bersembunyi di balik pilar batu, mengenakan jubah yang menutupi seluruh tubuhnya. Wajah orang itu tertutupi tudung jubah, tapi Ren dengan jelas tahu siapa itu.
"Cia?"
"Sssts... sini buruan." Alicia meletakkan jarinya di bibirnya, melambai, memintanya datang.
Tapi Ren terlalu bingung untuk menanggapi. "Kamu ngapain?"
Melihat pria itu hanya menatap bodoh padanya, Alicia berjalan mendekat, menoleh ke sekitar, berharap tak ada yang melihat. Sampai di sana, dia segera menyodorkan jubah lainnya. "Ayo pakai ini, kita keluar sekarang."
Sudut wajah Ren berkedut, bertanya-tanya hal bodoh apa lagi yang tengah dilakukannya. "Cia, kenapa kamu pake baju kayak gini?"
Alicia menghela napas, marik tudungnya, menunjukkan wajah cantiknya. "Kenapa gimana? kita kan mau kencan di luar, kita harus nyamar, biar nggak ada yang sadar kita kabur dari Istana."
Ren menahan keinginan untuk menepuk jidat gadis ini. Apa gunanya memakai jubah jika Raja bahkan sudah tahu akan hal ini. Juga, jubah itu sendiri adalah masalah, bagaimana mungkin tidak ada orang di Istana yang curiga pada orang berjubah, mengendap-endap pergi. Bukannya menyamar, ini seolah berkata: 'Hei! lihat aku! aku aneh dan mencurigakan!'
"Cia, kamu yakin jubah ini ada gunanya?"
Alicia yang sedari tadi melirik sekitar dengan waspada, menatap sebal Ren. "Ih! banyak tanya! udah ayo buruan, aku baru aja berhasil lepas dari pantauan Bibi Mai, aku bilangnya pengen tidur siang, jadi ayo buruan, sebelum dia tahu."
Ren yang mendengarnya terdiam, pandangannya beralih ke jendela kamar Alicia, ada sebuah siluet seorang wanita disana, dengan setelan pakaian pelayan dan wajah yang familiar, menatap ke sini, itu adalah Bibi Mai!
Ketika tatapan mereka bertemu, Bibi Mai, dari balik jendela kamar Alicia, tersenyum ramah, bahkan melambaikan tangan padanya.
Pandangan Ren beralih ke tunangannya, menggelengkan kepala dan meraih jubah itu. Bukan hal buruk untuk memiliki ini, karena meski akan tampak bodoh jika dikenakan di lingkungan Istana, di luar, ini cukup berguna.
Berita hadirnya Putri Emas, Alicia dan Pangeran Emas, Ren, pasti akan membawa kehebohan di masyarakat, jadi tidak buruk untuk mengenakan ini.
Alicia memperhatikan Ren dalam balutan jubahnya dan terkikik lucu. Di hadapkan pada tatapan tajam Ren, dia berdehem. "Ehem, kalo gitu ayo kita pergi."
Ren mengerutkan kening, melihat ke arah mana gadis itu berjalan. "Cia, kamu mau kemana?"
Alicia berbalik, menatap bingung. "Kemana? ya keluar dong sayang, kan gerbangnya ada di sana."
Ren memutar bola matanya, mengantupkan bahu gadis itu. "Alicia sayang, sekarang kamu pikir deh, ada dua orang pakai jubah kayak gini dari dalam Istana, berjalan ke luar. Menurut kamu, penjaga gerbang akan kasih kita lewat atau justru malah nangkap kita hah?"
Mata Alicia melebar, baru menyadari bahwa dia tidak bisa membandingkan situasinya yang sekarang dengan yang biasanya. Alicia tertunduk malu. "Aku lupa, terus gimana dong?"
"Hah... ayo, ikut aku." Ren menarik Alicia, berjalan pergi ke arah lain. Dia bisa saja untuk tetap pergi melewati gerbang seperti biasanya. Lagi pula, dia sudah mendapat izin Raja. Tapi mengingat usaha gadis ini untuk pergi secara diam-diam, Ren memutuskan untuk bermain peran.
Di bawah pantauan Bibi Mai, mereka berjalan pergi dari taman, menaiki tangga, pergi ke atas tembok benteng yang mengelilingi Istana. Perjalanan tak sepenuhnya berjalan lancar, di beberapa kesempatan akan ada prajurit yang menatap curiga pada mereka, namun Ren hanya perlu membuka tudung jubahnya, menunjukkan identiasnya dan memberi kode untuk diam. — syukurlah mereka cukup kooperatif.
Tiba di atas, Ren menatap ke bawah, ada jarak setinggi dua puluh meter ke tanah. Dia menggendong Alicia dengan gendongan ala putri dan melompat turun.
Alicia bersorak senang saat mereka terjatuh. Ren dengan fisik Master Pedangnya, menginjakkan kaki ke tanah dengan aman, meski ada sedikit retakan di tanah.
"Hahaha... tadi seru banget, kita harus lakuin itu lagi, hehe..."
Menggeleng atas respon senang gadis itu, Ren dan Alicia berjalan, melawati deretan pohon dan tiba di bukit kecil dengan pemandangan sebuah kota, itu adalah Ibu kota Kerajaan Artia, Kota Emerald.
Tudung Alicia terbuka oleh desiran angin. Ren meliriknya, menemukan wajah gadis itu yang begitu terpesona melihat kotanya sendiri. Dua minggu bukan waktu yang lama, tapi bagi Alicia, itu sudah terasa seperti selamanya, kini dia akhirnya bisa kembali menjajaki kota tercintanya.