Hari sudah gelap dan orang-orang tidak tampak dimanapun. Kota yang sebelumnya ramai dan penuh kehidupan, tampak begitu sepi sekarang.
Bukan hanya karena ini sudah masuk jam tengah malam, tetapi juga ada hujan deras yang melanda kota.
Ren berjalan di tepi jalan, tubuhnya terbungkus oleh jubah kulit yang tahan air. Tak hanya melindungi dirinya dari desiran angin dan curah hujan, tetapi juga menutupi identitasnya — walaupun, melihat betapa sepinya kota, itu tidak terlalu dibutuhkan.
Ren melirik sekitar, melihat kepada deretan bangunan tiga lantai yang tampak sepi. Hanya siluet cahaya dari dalam ruangan yang menjadi satu-satunya indikasi bahwa ada kehidupan di kota.
Normalnya akan selalu ada aktifitas, tak peduli itu sudah larut malam atau belum, bagaimanapun, tempat ini merupakan sebuah ibu kota kerajaan.
Namun, tampaknya hujan telah membekukan kota ini, membuat masyarakat enggan untuk keluar.
Yah... tidak aneh, lagi pula, siapa orang waras yang mau berjalan-jalan di luar saat tengah malam, di bawah derasnya hujan.
Bahkan bagi dirinya sendiri, Ren, juga enggan melakukan jika bukan karena misinya.
Menyusuri jalan di bawah rintikan hujan, Ren berkelok untuk memasuki gang, melewati beberapa blok sebelum akhirnya tiba di sebuah rumah dua lantai yang tidak mencolok.
Menatap pagar rumah, terdapat plat nomor rumah yang bertuliskan 037. Mengalihkan pandangan, Ren menemukan adanya gerbong kereta kuda di halaman samping.
Gerbong itu biasanya digunakan untuk menampung barang, sesuatu yang umumnya dimiliki oleh para pedagang.
Tahu bahwa dirinya telah sampai di tujuan, Ren masuk, membuka pagar, berjalan di halaman yang becek karena hujan, sebelum akhirnya tiba di depan pintu rumah.
Tanpa ragu, Ren membuka pintu, menemukannya tidak terkunci. Di dalam, dirinya dihadapkan oleh sebuah ruangan sederhana.
Tak seperti di Istana yang segala barangnya memiliki sentuhan kemewahan, disini, segalanya tampak biasa saja.
Dua buah sofa, dengan meja kayu kecil di tengah — berada tepat di depan area perapian. Ruang makan dengan meja kayu dan empat kursi kayu di sekitarnya. Dapur dan kamar mandi di ujung belakang rumah.
Ada satu lampu minyak, yang digantung dekat tangga, secara remang menerangi ruangan.
Tempat ini adalah standar rumah bagi sebuah keluarga. Ren juga dulu tinggal di tempat seperti ini, sebelum orang tuanya meninggal karena sakit, akibat cuacana dingin berkepanjangan di masa lalu.
Ren sejenak meletakkan pedangnya yang tersarungkan, yang selama ini dia sembunyikan di balik jubahnya.
Melepaskan jubah kulitnya, terlihat Ren mengenakan armor ringan yang elegan berwarna perak, dengan simbol bintang di dadanya. Ini adalah pakaian tempurnya sebagai Kesatria Kerajaan Artia.
Simbol bintang memiliki 12 sudut tajam, yang mewakili konsep 12 bintang, sebuah konsep yang merupakan sumber kepercayaan masa lalu nenek moyang mereka yang tinggal di tanah ini, jauh sebelum berdirinya kerajaan. Konsep itu divisualisasikan dan kini menjadi simbol Kerajaan Artia.
Ren mengaitkan jubahnya di gantungan baju yang terpasang di belakang pintu, sebelum berjalan naik ke lantai dua. Di atas, dia masuk ke sebuah kamar yang menjadi satu-satunya sumber cahaya.
Membuka pintu, dia melihat sebuah kamar yang sudah dirombak. Tak ada kasur, lemari atau barang sejenis yang lazimnya ada di sebuah kamar, hanya ada sebuah meja bundar di tengah ruangan dengan empat kursi kayu di sekelilingnya.
Sir Orum tengah duduk santai sambil mengunyah apel. Sedangkan Sir Cale dan Sir Galahad, berdiri, tampak mendiskusikan sesuatu.
Ketika dirinya masuk, Ren segera mendapat tatapan dari tiganya. "Apa aku terlambat?" tanyanya.
Sir Cale tersenyum tipis, menggeleng. "Tidak, aku baru saja sedikit merubah rencana awal kita."
Berjalan mendekat, Ren bertanya. "Dan apa itu?"
Sir Cale menjelaskan. "Rencana awal kita adalah untuk menyamar sebagai pedagang. Sampai keluar dari kota, kita akan meninggalkan gerbong, membawa kuda untuk secepatnya tiba di Kota Odeus. Namun, hujan membuat kita bisa sedikit mempersingkat waktu, kita bisa langsung menunggangi kuda dari sini tanpa membawa gerbong."