'A-Aku mati?' Ren bergumam lembut di dalam hatinya.
Dia tak bisa melihat apapun, tidak bahkan tubuhnya sendiri. Yang memenuhi pandangannya hanya cahaya terang putih keemasan.
Meski agak pening, Ren masih dengan jelas mengingat kenangan terakhirnya, itu adalah momen ketika dirinya tertimpa oleh reruntuhan Goa.
Tanpa keraguan, batu besar itu pasti telah menimpanya. Fakta bahwa saat ini dirinya tak merasakan sensasi sakit apapun, menunjukkan kemungkinan yang besar bahwa dirinya tak selamat.
Ren mencoba untuk menoleh ke sekitar, tapi dia tak yakin apakah dia benar-benar telah menoleh atau tidak, karena pandangannya tak berubah, tetap sama. Lebih buruk lagi, dia tak merasakan bahwa kepalanya bergerak — bukan hanya kepala, tapi anggota tubuh lainnya pun sama.
Ren tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri, seolah-olah jiwa dan raganya telah terpisah, hanya menyisakan kesadarannya yang entah ada dimana.
'Sepertinya aku benar-benar mati.' Gumaman lembutnya bergema di ruang hampa yang terang itu.
Ren mengingat kembali perjalanan hidupnya... Dirinya hanya anak dari keluarga biasa, ayahnya bekerja sebagai pedagang kecil dan ibunya hanya ibu rumah tangga yang sesekali membantu sang ayah.
Mereka memiliki kehidupan yang baik, meski tak kaya, tapi cukup baik dalam perihal ekonomi. Bahkan, di musim tertentu, bisnis ayahnya akan mendapat lonjakan keuntungan, membuat keluarga mereka memiliki uang berlebih.
Mereka tak kesulitan makan dan memiliki rumah yang nyaman. Bahkan, ayahnya masih mampu untuk memasukkannya ke Akademi Kesatria, sebuah instansi pendidikan milik keluarga kerajaan.
Siapapun yang berprestasi di sana, memiliki kesempatan besar untuk bekerja langsung melayani keluarga kerajaan.
Itu merupakan tempat yang bergengsi dan mahal, bahkan di kalangan masyarakat kelas atas sekalipun.
Lebih dari setengah ekonomi keluarganya dialokasikan untuk biaya pendidikannya. Padahal, dengan uang sebesar itu, mereka mampu membeli rumah besar di kawasan elit, atau ayahnya, bisa saja mengembangkan bisnisnya lebih besar.
Tapi nyatanya tidak, mereka lebih memilih hidup sederhana dan memberikan sebagian hartanya untuk masa depan anak mereka.
Ren menghabiskan sebagian besar waktunya di akademi, dirinya berlatih dengan giat. Kegigihan dan bakatnya dalam berpedang tampak menonjol, membuatnya cukup dikenal di lingkungan akademi.
Hidupnya berjalan dengan baik, sampai ketika musibah itu terjadi.
Di penghujung masa belajarnya, cuaca dingin berkepanjangan melanda kerajaan. Ibu kota kerajaan adalah yang terdampak paling buruk.
Di masa itu, Ren telah banyak berkirim surat dengan keluarganya, menanyakan kabar. Surat balasan orang tuanya selalu menjawab bahwa segala sesuatunya berjalan baik dan mereka aman-aman saja.
Tentu, itu bohong, tapi waktu itu dirinya tak tahu.
Berada di akhir masa belajarnya, Ren sibuk dengan urusannya, ditambah lagi, pernyataan berulang orang tuanya di setiap surat, yang selalu menekankan dirinya untuk selalu fokus pada akademinya, membuat Ren tak memikirkan lebih jauh.
Sampai suatu hari, ketika dia mengirim surat perihal kelulusannya dari akademi, balasan yang datang bukanlah surat balasan, melainkan berita atas penemuan mayat keduanya oleh kurir pengirim surat.
Sebagai akademi bergengsi milik keluarga kerajaan, tempat itu menjadi lokasi yang nyaman dan aman bagi para siswa, membuat Ren tak benar-benar memahami betapa mengerikannya cuaca dingin yang berkepanjangan itu.
Di luar, tanpa sepengetahuannya, banyak orang yang tewas akibat cuaca dingin tersebut. Mayoritas adalah masyarakat kelas bawah yang tak memiliki kemampuan untuk membeli berbagai hal penyokong kehidupan di kondisi tersebut, termasuk keluarganya.
Cuaca ekstrem membuat bisnis ayahnya harus tutup, membuat ekonomi keluarga mereka merosot secara signifikan. Ayahnya bekerja serabutan, sebelum tak lama jatuh sakit karena cuaca dingin.
Ibunya hanya ibu rumah tangga biasa, dia tak terbiasa bekerja. Ayahnya tahu itu, jadi dia memaksakan diri untuk terus bekerja meski dalam keadaan sakit.
Namun nyatanya, di belakang ayahnya, ibunya memaksa diri untuk bekerja juga. Sayangnya, sebagai seorang wanita, fisiknya lebih lemah, yang membuatnya mudah jatuh sakit.
Keduanya ditemukan di kamar, berbaring dalam keadaan beku, terlelap di keabadian, dalam pelukan satu sama lain.
Hari kelulusannya diwarnai oleh kepergian kedua orang tuanya.
Prestasinya di akademi, membawanya masuk menjadi prajurit di Istana, sesuatu yang seharusnya membanggakan. Sayangnya, yang bersangkutan tak merasakan gairah apapun.
Dia tak bangga, senang atau bahagia karenanya. Rasanya kosong, hampa dan dingin.
Ren menenggelamkan dirinya dalam pelatihan dan tugas, berlatih dan bekerja keras dengan intensitas yang berlebihan.
Dirinya menjadi anomali di ketentaraan, etosnya yang luar biasa mendapat perhatian positif dari sekitarnya, banyak yang mencoba untuk mengenalnya. Namun, sifat dingin dan kecenderungan anti sosialnya, membuat mereka menilai negatif Ren.
Syukurnya itu tak berlangsung lama, karena di sepanjang tugas, Ren telah banyak menyelamatkan orang, baik itu sesama rekan prajurit atau warga sipil.
Namanya mulai naik, dan mereka juga mulai mengetahui latar belakangnya, menyadari dari mana sumber sifat dinginnya itu.
Ren telah dikenal di ketentaraan sebagai prajurit yang menjanjikan, para Kesatria juga mulai memperhatikan prajurit muda itu.
Puncak ketenarannya adalah ketika dia mampu melakukan terobosan, menjadi seorang Master Pedang.
Pelatihan keras yang awalnya ditunjukkan untuk pelarian diri atas kesedihannya, justru membuatnya berkembang begitu pesat dan mampu menjadi seorang Master Pedang di usianya yang bahkan belum genap 20.
Dirinya diangkat sebagai Kesatria Kerajaan Artia, mendapatkan penghormatan dan ketenarannya melejit pesat.
Statusnya yang baru kini membuatnya bisa berinteraksi dengan tokoh-tokoh kelas atas kerajaan. Para Kesatria, bangsawan, pejabat tinggi dan keluarga kerajaan — termasuk permata terindah Kerajaan Artia, Sang Putri Emas, Alicia Von Artia.
Untuk pertama kalinya, sejak dia terjebak di ruang cahaya ini, Ren merasakan rasa sakit — bukan secara fisik, melainkan hatinya serasa ditusuk pedang.
Menyebut nama itu, Ren tak bisa tidak mengingat sumpah yang telah diucapkannya.
Dia sudah menjanjikan dirinya untuk kembali padanya, kembali dengan selamat. Namun sekarang... jangankan untuk kembali selamat, tubuhnya mungkin sudah tidak berbentuk lagi.
Ren tak bisa membayangkan bagaimana respon gadis itu atas berita kematiannya.
Sejenak, bayangan Alicia terbentuk di hadapannya.
Dia melihat gadis itu tengah duduk di tempat tidurnya, menyembunyikan wajahnya di balik kedua lututnya — tubuhnya bergetar dengan setiap isak tangis yang terdengar.
Ren membuka mulut, mencoba untuk memanggilnya, tapi tidak ada apapun yang keluar darinya, hanya keheningan.
Dirinya bahkan tak yakin bahwa dia masih memiliki mulut, lagi pula, dirinya saat ini hanya sebatas sisa kesadaran tanpa wujud fisik apapun.
Namun, detik berikutnya, Ren melihat Alicia mengangkat kepalanya, menatap langsung padanya.
Mata gadis itu memerah, meneteskan air mata, dengan kantung matanya yang menghitam — mata itu menatap tajam padanya. Alicia membuka mulutnya, berkata dengan dingin. "Pembohong."
Sekali lagi, Ren merasakan hatinya seperti ditusuk pedang.
Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi rasa sakit di hatinya membuatnya tergagap, tak tahu harus berkata apa.
Detik berikutnya, bayangan Alicia memudar, dengan kata-kata terakhirnya yang bergema di sekitarnya.
Ren mencoba mengejar dan berteriak, tapi itu tak menghasilkan apapun. Tak peduli seberapa keras dia berusaha, dirinya masih tak bergerak dan tak bersuara.
Tanpa daya, dia hanya bisa melihat bayangan Alicia memudar, bersama suara gemanya yang perlahan menghilang.
Sesaat sebelum bayangan Alicia sepenuhnya menghilang, cahaya di lingkungan sekitarnya menguat, itu semakin terang, sampai pada titik dia merasa buta, kegelapan kini mengganti seluruh penglihatannya.
***
Di suatu tempat, seorang wanita berjalan tertatih-tatih. Dia menggunakan pedang sebagai tongkat bantunya untuk berjalan, setiap langkah akan membuat wanita itu meringis karena rasa sakit — tubuhnya menginginkan istirahat, tapi dia dengan keras kepala terus berjalan.
Tak kuasa akan rasa sakitnya, wanita itu tumbang di balik salah satu pohon. Menyenderkan punggungnya, dia mengelap wajahnya dari noda darah.
Dia terduduk, mencoba mengatur nafas, sayangnya itu bukanlah hal yang mudah. Tubuhnya terasa keram, dengan rasa sakit yang menyengat, beberapa anggota tubuhnya berkedut dan gemetar karena rasa sakit itu.
Di saat yang sama, dia merasa lemas dan tak berenergi, seolah dirinya baru saja melalui pertempuran yang panjang. Dan memang, pada faktanya, itulah yang baru saja dilaluinya.
Wanita itu berniat untuk beristirahat sejenak, namun, tiba-tiba dia mendengar suara...