Bukit yang di atas itu
Ada pemuda yang bernama Akhi
Dan semua yang kau lihat itu
Adalah misteri ilahi
- Kelinci Emas -
ADA sekitar sepuluh anak kelinci yang sudah diberi makan oleh dua pegawai. Satu pegawai sekarang sudah kembali ke kumpulan anak-anak SD dan ditugaskan sebagai pemandu, dan satunya lagi menemani Irene memberi makan satu anak kelinci berwarna cokelat terang.
Anak kelinci manis itu sekarang makan di pangkuan Irene, membuat gadis pecinta kelinci itu menatapnya gemas setiap waktu. Meski dia masih memakai seragam sekolah pun, dia tidak perlu khawatir karena saat ini seragamnya sudah dibalut apron biru panjang—apron khas dari tempat ini. Apalagi, besok Irene tidak memakai seragam batik lagi, dan dia tentu akan menaruh seragamnya ke dalam bak cucian setelah dia pulang nanti.
"Bekerja di sini memang terbaik." Seorang gadis berkerudung kuning lulusan SMA tahun lalu—Kak Sarini—sekaligus pegawai yang baru bekerja dua bulan bergumam damai. Irene mengangguk setuju. Bagi pecinta kelinci—khususnya bagi mereka yang melihat kelinci imut—tentu ini bisa jadi asupan. Misalnya jika sedang stres atau putus cinta, anak-anak kelinci bisa jadi media pelipur lara untuk menghilangkan dua hal itu. Mereka manis, imut, dan yang paling penting ... kecil dan tidak mengigit.
"Irene tidak pulang dulu? Nanti dimarahi Nyonya, lho."
Nyonya yang Sarini maksud adalah Bunda. Bunda selalu ada di peternakan, tapi setelah Irene masuk ke sini dan bertanya perihal di mana Bunda, Sarini menjawab kalau bosnya saat ini sedang mengobrol dengan guru-guru TK dan SD yang entah kapan selesainya. Irene hanya mengucapkan kata 'oh' dan mengangguk saja, dan setelah itu memakai apron yang tersedia.
"Tidak, Bunda tidak akan marah kok, dan lagi pula, besok 'kan pakai seragam Pramuka," jawab Irene. Dan lagi, kalau aku pulang dulu, tidak mungkin aku bisa diantar Nathan sampai sini. Irene tersenyum sendiri setelah dia membatin. Sarini menatapnya bingung, tak biasa melihat putri bosnya yang ini tersenyum mesem tak jelas.
Tiba-tiba saja, pintu diketuk dua kali. Memunculkan seorang pria yang berumur dua puluh satu tahun dengan setelan kaos oranye yang sudah dibalut dengan apron biru. Celana bahan hitam dan sepatu booth hitam juga turut andil dalam tampilannya.
Tidak ada yang namanya seragam di peternakan ini, kecuali apron biru yang mereka kenakan.
"Oh, Olivia!" Pria itu berseru ketika matanya menangkap Irene. Irene agak kaget juga kemudian mengangguk sambil tersenyum. Sarini menegurnya, "bukan Olivia Kang, ini Irene. Kalau Olivia yang rambutnya pendek."
Nah, inilah alasan mengapa Irene tidak langsung mengeluarkan suara—selain karena terkejut. Dia sudah tahu kalau Sarini akan langsung mengoreksi perkataan rekannya. Pria itu menggaruk kepalanya. "Oh, maaf. Kukira Olivia. Habisnya mirip, sih."
Tentu saja mirip! Olivia dan Irene adalah kembar identik. Yang membedakan hanyalah gaya rambut dan juga karakter mereka.
"Mirip palamu! Sudah jelas mereka berdua beda, lho. Akang tidak memperhatikan rambutnya, ya?" Sarini mengomel. Entah kenapa teguran ini malah berujung ke pertengkaran yang tak penting. "Ya, maaf. Ah, mumpung kau ada di sini, bantu aku yuk. Bos nyuruh aku bersihin kandang, dan karena kebanyakan orang lagi sibuk gara-gara banyak pengunjung, jadi dia meminta aku buat minta bantuan ke yang lain."
"Oh, oke. Aku bantu." Sarini berdiri setelah dia berjongkok dan menaruh anak kelincinya ke boks yang berisi jerami. Ya, jerami itu gunanya untuk menghangatkan anak-anak kelinci mengingat mereka masih kecil, umur mereka sekitar tiga puluh hari.
"Eh, aku juga mau bantu!" Irene berseru sambil berdiri. Kelinci kecil yang semula ada di pangkuannya kini ada di kedua telapak tangannya. Ia sudah menghabiskan satu batang wortel sebesar korek api.
"Yakin, Néng? Seragamnya nanti—"
"Tidak apa-apa, besok pakai baju Pramuka, kok." Irene memotong kekhawatiran pria itu. Dia sudah tahu apa yang akan pria itu katakan, makanya dia bilang begitu. Kata-katanya persis seperti Sarini.
Pria itu mengangguk. "Baiklah, pergi ke ruang ganti dan pakai sepatu booth kalian," suruh pria itu. Sarini dan Irene mengangguk lalu mengekorinya.
-