The Golden Rabbit

Dreamerity
Chapter #17

Kelinci 17: Dunia Lain

Wajarlah kamu berkorban

Karena hidup itu cuma sekali

Wajarlah banyak cobaan

Karena dunia ini, bukan Isekai

- Kelinci Emas -


HAL pertama yang dirasakan kulitnya adalah besi dingin yang menempel pada kedua siku tangan. Kedua kakinya juga merasakannya, meski keduanya saat ini ditutupi oleh kaos kaki setinggi betis juga sepatu pantofel.

Irene membuka matanya dengan perlahan, dan hal yang dia lihat adalah langit-langit asing yang tampak bukan rumahnya. Irene tahu itu. Karena kalau betul yang dia lihat adalah langit-langit kamarnya, dia pasti akan melihat bohlam berwarna kuning yang menempel di sana, tetapi di sini tidak. Irene tidak melihat adanya bohlam, yang ada hanyalah langit-langit kosong biasa dengan keramaian yang asing.

Irene pun membangunkan dirinya sendiri. Meringis. Entah kenapa dia merasa setruman yang dirasakannya saat di hutan masih terasa. Tubuhnya yang semula baik-baik saja pun, harus menanggung perih yang diakibatkan oleh memori ototnya.

Dia kemudian melihat ke depan, dan matanya sontak membesar.

Dia lihat di depannya sebuah jeruji besi mengurung dirinya. Lengkap dengan orang-orang berlalu-lalang yang tampaknya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing—meski Irene lihat beberapa diantaranya ada yang sedang mengobrol.

Irene kemudian berdiri, dan melangkah mendekat ke arah jeruji guna melihat orang-orang ini lebih dekat. Ada yang membawa troli yang berisi alat-alat eksperimen dan cairan kimia, ada yang sedang sibuk mencatat, dan ada pula yang sibuk mengobrol dan apa yang mereka obrolkan pun tampak serius. Itu terlihat dari mimik muka mereka.

Wujud mereka pun juga ... berbeda.

Mereka ... pendek. Seperti anak kelas enam SD. Selain itu, mereka juga mengenakan seragam yang berbeda. Ada yang memakai seragam ilmuwan dengan almamater panjang berwarna putih, seragam dokter, juga baju polisi. Semuanya tampak seperti orang-orang penting yang sibuk sendiri. Seolah-olah mengabaikan eksistensi Irene yang sedikit tinggi dari mereka.

Ah, dan yang paling menonjol diantara penampilan mereka adalah ... mereka memiliki sepasang telinga kelinci di masing-masing kepala dengan warna yang berbeda. Selain itu, bagian bawah tubuh mereka juga adalah pinggul dan kaki kelinci—yang tentunya ditutupi oleh celana dan rok, dan Irene mengetahui hal itu karena kebanyakan dari mereka tidak memakai sepatu.

Irene mendekat lagi, dan sekarang pengelihatannya sudah sangat jelas. Mereka semua persis seperti yang dia lihat, dan persis seperti yang pernah diceritakan Bunda. Penyihir Kelinci.

Irene memegang kedua jeruji besi yang ada tepat di depan wajahnya, dan baru sedetik memegang benda ini, semua manusia kelinci—Penyihir Kelinci—yang ada di sini sontak menoleh ke arahnya.

Telinga-telinga kelinci mereka yang semula tegak seketika layu, dan mata-mata mereka yang semula normal seketika membesar. Mereka semua yang semula sibuk sendiri langsung mematung dengan pandangan fokus ke arah Irene.

Irene jadi gugup sendiri. Entah kenapa dia merasa telah melakukan kesalahan. Salah satunya adalah dengan bangun dari tempat ini.

"Ha-halo?"

Dan bersuara pun bahkan lebih salah lagi. Para manusia kelinci yang semula diam di tempat langsung panik. Mereka berlari ke sana-kemari seperti sedang mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.

Irene mundur. Dia juga menggigit bawah bibirnya dan melirik ke sana-kemari. Dia tidak tahu ada di mana. Namun ingatannya mengatakan kalau dia dibawa kemari setelah mendapat setruman.

Irene melirik ke sebelah kiri, dan dilihatnya seorang ilmuwan dengan masker putih langsung menekan tombol besar berwarna merah yang ada di sana. Irene tidak tahu tombol apa itu, yang jelas setelah ilmuwan itu menekan tombol tersebut, sebuah kejutan listrik tiba-tiba saja memenuhi ruangan ini dan hal itu membuat Irene mendapat setruman untuk kedua kalinya. Harus dia akui, setruman yang kedua ini lebih menyakitkan daripada setruman sebelumnya.

Irene berteriak. Tubuhnya lagi-lagi bergetar, dan aliran listrik yang ada di sekelilingnya menghantamnya bertubi-tubi. Rasa sakit yang dia rasakan pun bukan main.

Sekitar lima menit, Irene disetrum dan lima menit pula dia berteriak. Setelah melewati waktu yang menyakitkan itu, akhirnya Irene pun ambrug kembali.

Lihat selengkapnya