KELUARGA EDYANTO
Blok D3 No. 09
RINI (42 TAHUN); DOSEN
Bagas mempersilakan wanita itu duduk sebelum dia mulai mengoceh kembali. Sejak di ruang tunggu tadi, wanita itulah yang paling tidak bisa diam dan berulang kali bertanya sampai kapan mereka akan berada di kantor ini.
“Masing-masing akan mendapat giliran. Setelah diinterogasi, boleh meninggalkan kantor,” ujar Bagas beberapa menit lalu, sebelum mengajak wanita bernama Rini itu masuk ke ruang interogasi.
“Baiklah, boleh segera dimulai sekarang. Saya tidak ingin berlama-lama di sini. Gerah!” Rini meniupkan udara ke arah dadanya, menatap petugas itu sambil menyilangkan kaki. Tangannya mengipasi bagian leher.
Bagas tidak memiliki nama-nama orang yang akan dia tanyai. Lagi pula, mereka didatangkan ke sini hanya untuk dimintai keterangan sementara. Sebelumnya, Bagas tidak pernah melakukan proses interogasi tanpa data-data yang lengkap dari orang yang akan dia tanyai, bahkan sudah lama sekali dia tidak mendapatkan kasus semacam ini. Satu tahun belakangan, aktivitas Bagas tidak begitu banyak, baik di lapangan maupun kantor. Seakan masyarakat di sekitar situ telah hidup dengan tenteram dan damai. Tanpa tindak kriminal sama sekali.
Dulu, Bagas sempat menangani beberapa kasus kriminal, kecuali pembunuhan. Kali ini, Bagas harus menerima bahwa dia telah diutus langsung oleh Kombes Nurman, selaku atasannya, untuk menerima kasus ini.
Sebenarnya, Bagas tidak ingin terlibat. Dia bisa dikatakan belum siap turun ke lapangan dan karena itulah dia awalnya menolak menjadi penyidik utama. Dalam diri Bagas, terdapat belenggu yang menahannya, memaksanya menjauhi kasus-kasus semacam ini.
“Baik, saya berbicara dengan Ibu ...?” Bagas berharap wanita itu tidak kesal karena dia tidak memiliki daftar nama mereka.
“Rini,” ujar wanita itu.
Rini merasa dia tidak sepatutnya berada di kantor itu. Dia merasa kesal mengapa hanya penghuni blok mereka yang dipanggil ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sementara blok lain tidak.
“Baik,” jawab Bagas sambil menunduk, mencari buku catatan dan bolpoin miliknya di laci meja.
“Edyanto, Rini Edyanto,” tambahnya. “Aslinya Rini Anggiati Indahsari, sekarang ikut suami.” Sudut bibirnya sedikit terangkat. Rini segara memantapkan kembali ekspresinya, berharap petugas itu tidak melihat seringai kecilnya tadi.
Bagas tidak berhasil menemukan catatan dan bolpoinnya di laci bagian bawah. Dia lupa di mana terakhir kali menaruh kedua benda itu. Kepala Bagas terangkat setelah wanita itu bersuara. Dia mencoba tersenyum, tetapi ekspresi wanita itu membungkam niatnya. Bagas hanya mengangguk, lalu melemparkan pertanyaan.
“Oke. Ibu Rini benar tetangga korban?”
Wanita itu kali ini tersenyum lebar dan membuat tawa kecil. “Kalau bukan, kenapa saya harus ada di sini?”