Sang kepala pelayan—langsung mengenali satu-satunya kakak laki-laki sang majikan, sebagaimana yang dia beri tahukan kemudian kepada bawahannya yang kurang tanggap—membungkuk dalam-dalam kepada Sir Horace. Dia berinisiatif sendiri untuk memberitahukan bahwa sang majikan, meski tidak biasa menerima orang-orang yang kurang dekat dengannya di rumah, akan senang bertemu pria itu. Sir Horace—tak acuh dengan sikap ramah sang kepala pelayan—menyerahkan mantelnya kepada seorang pelayan rumah, topi dan tongkatnya kepada pelayan lain lagi, dan melempar sarung tangannya ke atas meja berlapis pualam. Dia menanggapi bahwa hal itu tidak diragukannya, lalu menanyakan kabar Dassett hari ini. Sang kepala pelayan, yang merasa senang namanya diingat sekaligus tidak suka melihat sikap Sir Horace yang tak sopan dan santai, menyahut bahwa kabarnya baik-baik saja, dan bahwa dirinya—bisa dibilang—senang melihat Sir Horace tidak tampak lebih tua sehari pun dari saat kali terakhir Dassett berkesempatan memberitahukan kedatangannya kepada sang majikan. Dassett kemudian memandu jalan, dengan sikap penuh martabat, menaiki tangga megah menuju ruang tamu biru. Di sana, Lady Ombersley tampak tengah terlelap di sofa dekat perapian, syal berbahan Paisley terhampar di kakinya, dengan topi yang dikenakan miring. Mr. Dassett, yang mengamati semua ini, terbatuk dan mengumumkan dengan nada bicara yang tegas, “Sir Horace Stanton-Lacy, Nyonya!”
Lady Ombersley sontak terbangun, tercenung sesaat, lantas menyentuh sekilas topinya sambil mengeluarkan pekikan lemah. “Horace!”
“Halo, Lizzie! Bagaimana kabarmu?” sapa Sir Horace, seraya melintasi ruangan dan memberi tepukan bersemangat ke pundaknya.
“Ya Tuhan, kau mengagetkanku!” seru Lady Ombersley, sambil membuka botol aromaterapi yang tak pernah jauh dari jangkauannya.
Sang kepala pelayan, setelah diam-diam mengamati sukacita ini, menutup pintu di belakang kakak-adik yang tengah berkumpul kembali. Dia pun berlalu pergi untuk bercerita kepada bawahan-bawahannya bahwa Sir Horace adalah seorang pria bangsawan yang sering tinggal di luar negeri, karena, sebagaimana diketahuinya, pria itu dipekerjakan oleh Pemerintah di Bidang Urusan Diplomatik yang terlalu rumit bagi pemahaman mereka.
Sementara itu, sang diplomat, sambil menghangatkan mantel berekornya di dekat perapian, menyegarkan diri dengan sejumput tembakau bubuk dan memberi tahu sang adik bahwa kelihatannya berat badannya bertambah. “Kita berdua sudah tidak muda lagi,” dia menambahkan dengan luwes. “Mungkin sudah berlalu lima tahun, Lizzie, kecuali jika ingatanku salah, yang rasanya tidak demikian.”
Terdapat sebuah cermin besar bersepuh emas di dinding seberang perapian, dan selagi bicara, Sir Horace membiarkan tatapannya tertuju pada pantulan dirinya sendiri—bukan dengan semangat keangkuhan, melainkan dengan penerimaan diri yang kritis. Usianya yang sudah memasuki empat puluh lima tahun telah memperlakukannya dengan begitu murah hati. Jika berat badannya sedikit bertambah pun, tinggi badannya, yang di atas 182 senti, akan membuat sedikit kelebihan berat badan itu dapat diabaikan. Sir Horace adalah pria dengan tubuh kekar, dan selain badannya yang besar dan proporsional, dia memiliki wajah yang rupawan, dengan rambut ikat tebal warna cokelat yang belum dihiasi uban. Meski selalu berpakaian elegan, dia terlalu bijak untuk mengadopsi gaya busana berlebihan yang hanya akan semakin menonjolkan kekurangannya sebagai seorang pria paruh baya.
“Lihatlah Prinny yang malang!” ujar Sir Horace, merujuk kepada sahabatnya yang tidak terlalu berbeda. “Dia adalah pelajaran bagi kita semua!”
Adiknya menerima kritik tersiratnya tanpa merasa kesal. Dua puluh tujuh tahun ikatan pernikahan telah meninggalkan bekas pada dirinya; baktinya kepada seorang suami yang berlaku seenaknya dan tak tahu terima kasih, serta ayah dari kedelapan anaknya, telah sejak lama mengikis rasa angkuh yang dia miliki atas kecantikannya. Kondisi kesehatannya kurang baik, wataknya pasrah, dan dia sering kali berkata bahwa bila seseorang telah menjadi nenek, maka sudah bukan saatnya lagi untuk memusingkan tentang penampilan.
“Bagaimana kabar Ombersley?” tanya Sir Horace, lebih karena berbasa-basi daripada ingin tahu.
“Dia sedikit mengeluhkan asam urat, meski begitu keadaannya masih terhitung sangat baik,” jawab sang adik.
Sir Horace menanggapi penjelasan itu tanpa semangat. Sambil mengangguk, dia berkata, “Dia memang selalu banyak minum. Tapi usianya sekarang pasti sudah hampir menginjak enam puluh tahun, dan kurasa kau tidak lagi mencemaskan masalah lainnya, bukan?”
“Tidak, tidak!” sambar adiknya. Ketidaksetiaan Lord Ombersley—meskipun teramat memalukan karena sering kali dilakukan terang-terangan di depan publik—tak pernah benar-benar menyusahkannya, tapi dia tak berminat untuk membahas hal itu dengan kerabatnya yang suka bicara blakblakan, dan langsung mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan dari mana Sir Horace datang.
“Lisbon,” sahut sang kakak, sambil mengambil sejumput tembakau lagi.
Lady Ombersley agak terkejut. Sudah berlalu dua tahun sejak berakhirnya Perang Kemerdekaan Spanyol1 yang panjang, dan semula dia mengira, menurut kabar terakhir, bahwa Sir Horace menetap di Wina—tak diragukan lagi mengambil peran misterius di Kongres, yang terganggu secara tiba-tiba oleh kaburnya Monster dari Elba2 yang mengerikan itu.
“Oh!” ujarnya, agak nanar. “Tentu saja, kau punya rumah di sana! Aku lupa! Dan, bagaimana kabar Sophia?”
“Sebetulnya,” ucap Sir Horace, sambil menutup kotak tembakaunya dan mengantonginya kembali, “aku mendatangimu karena ingin membicarakan Sophy.”
Sir Horace telah menduda selama lima belas tahun. Selama masa itu, dia tidak pernah meminta bantuan saudarinya untuk mengasuh putrinya ataupun mengindahkan nasihatnya yang tidak diminta. Namun, mendengar kata-kata barusan, perasaan gelisah merasuki Lady Ombersley. Dia bertanya, “Ada apa, Horace? Sophia kecil yang manis! Rasanya sudah empat tahun lebih sejak kali terakhir aku bertemu dengannya. Berapa umurnya sekarang? Kurasa dia tentu sudah hampir waktunya diperkenalkan ke masyarakat?”
“Sudah sejak lama,” Sir Horace menanggapi. “Umurnya dua puluh.”
“Dua puluh!” seru Lady Ombersley. Pikirannya mulai berhitung, lalu berkata, “Benar, tentu saja begitu, karena putriku sendiri, Cecilia, baru saja menginjak sembilan belas, dan aku ingat bahwa putrimu Sophia lahir hampir setahun sebelumnya. Ah, benar! Marianne yang malang! Dia wanita yang sangat cantik!”
Bayangan akan mendiang istrinya langsung muncul di benak Sir Horace. “Benar, memang begitulah dia,” Sir Horace menyepakati. “Kita memang mudah sekali lupa. Sophy tidak persis seperti dirinya. Dia lebih mirip denganku.”
“Kehadiran Sophy tentu memberi penghiburan besar bagimu,” desah Lady Ombersley. “Dan, aku yakin, Horace sayang, tak ada yang lebih mengharukan daripada rasa sayangmu terhadap anak itu!”
“Aku sungguh amat menyayanginya,” sela Sir Horace. “Aku tidak akan membawanya bersamaku seandainya dia anak yang menyulitkan. Tapi Sophy yang manis tidak pernah seperti itu!”
“Ya, Sayang, itu tidak diragukan lagi, tapi membawa-bawa seorang gadis ke sepenjuru Spanyol dan Portugal, padahal dia akan jauh lebih baik jika berdiam di sekolah asrama—”
“Tidak untuk Sophy! Dia telah belajar untuk bersikap lemah lembut,” ujar Sir Horace sinis. “Lagi pula, tak ada gunanya mencerewetiku sekarang terkait masalah itu. Sudah terlambat! Masalahnya, Lizzie, aku perlu bantuan. Aku ingin kau menjaga Sophy selagi aku berada di Amerika Selatan.”
“Amerika Selatan?” Lady Ombersley terkesiap.
“Brazil. Aku tidak akan bepergian untuk waktu yang sangat lama, tapi aku tidak bisa membawa Sophy, dan aku tidak bisa meninggalkan dirinya dengan Tilly, karena Tilly sudah meninggal. Meninggal di Wina, dua tahun yang lalu. Sungguh hal yang menyusahkan, tapi dia tentu tidak berniat begitu.”
“Tilly?” sahut Lady Ombersley, bingung.
“Demi Tuhan, Elizabeth, jangan terus mengulangi semua yang kukatakan! Itu benar-benar kebiasaan buruk! Miss Tillingham, pengasuh Sophy!”
“Astaga! Apa kau hendak memberitahuku bahwa anak itu tidak memiliki pengasuh saat ini?”
“Tentu saja tidak! Dia tidak membutuhkan pengasuh. Aku selalu menemukan banyak pendamping untuknya saat kami berada di Paris; dan di Lisbon, itu tidak penting. Tapi aku tak bisa meninggalkannya sendirian di Inggris.”
“Tentu saja tidak! Tapi, Horace tersayang, meski aku bersedia berbuat apa pun untuk membantumu, aku tak begitu yakin—”
“Omong kosong!” sergah Sir Horace tajam. “Dia akan menjadi teman menyenangkan bagi putrimu—siapa namanya? Cecilia? Asal kau tahu, dia anak yang baik. Tak punya sifat buruk sedikit pun!”
Pujian seorang ayah ini membuat saudarinya terkejut, dan mengeluarkan protes lemah. Sir Horace tak mengindahkannya. “Lagi pula, dia takkan menyulitkanmu,” ujarnya. “Putriku, Sophy, cerdas dan bijak. Aku tak pernah mencemaskannya.”
Karena mengenal betul karakter kakaknya, Lady Ombersley bisa memercayai hal itu, dan karena dia sendiri dikaruniai dengan watak tenang yang sama, tak ada komentar tajam yang bahkan keluar dari mulutnya. “Aku yakin dia pastilah seorang gadis yang baik,” ucapnya. “Tapi, begini masalahnya, Horace—”
“Dan, satu hal lagi, sudah tiba saatnya bagi kita untuk memilihkan calon suami baginya,” desak Sir Horace, seraya duduk di sebuah kursi di seberang sisi perapian. “Aku tahu aku bisa mengandalkanmu. Lagi pula, kau adalah bibinya. Juga saudariku satu-satunya.”
“Aku akan dengan senang hati memperkenalkannya ke publik,” ujar Lady Ombersley prihatin. “Tapi masalahnya adalah, menurutku—aku agak khawatir—begini, dengan pengeluaran yang sangat besar dari memperkenalkan Cecilia ke publik tahun lalu, dan pernikahan Maria tersayang tak lama sebelumnya, serta Hubert yang akan segera masuk Oxford, belum lagi biaya di Eton bagi Theodore malang—”
“Jika pengeluaran yang menjadi masalah bagimu, Lizzie, kau sama sekali tak perlu memusingkannya, karena aku tidak menerima omong kosong itu. Kau tidak harus memperkenalkannya di Istana. Aku akan mengurus semua itu begitu pulang, dan jika kau sama sekali tidak mau direpotkan, maka aku bisa mencari wanita lain yang bersedia melakukannya. Yang kuinginkan untuknya saat ini adalah agar dia bisa mengenal lebih dekat sepupu-sepupunya, bergaul dengan orang-orang yang pantas—kau sendiri tentu mengerti apa yang kumaksud.”
“Tentu saja aku tahu, dan itu sama sekali tidak akan merepotkanku! Tapi aku tak kuasa merasa bahwa barangkali—barangkali ekspektasimu takkan bisa dipenuhi. Kami tidak begitu menyenangkan.”
“Yah, dengan banyaknya gadis di bawah tanggung jawabmu, kau semestinya menyenangkan,” ujar Sir Horace blakblakan.
“Tapi, Horace, aku tak punya banyak gadis di bawah tanggung jawabku!” protes Lady Ombersley. “Selina baru enam belas tahun, sementara Gertrude dan Amabel masih kanak-kanak!”
“Aku tahu apa yang merisaukanmu,” ucap Sir Horace bermurah hati. “Kau khawatir dia akan merebut perhatian dari Cecilia. Tidak, tidak, Sayang! Putriku Sophy bukan gadis rupawan. Dia cukup menarik—bahkan, aku yakin kau akan menganggapnya sebagai gadis yang sangat cantik—tapi Cecilia jauh lebih menarik. Aku ingat beranggapan demikian saat kali terakhir berjumpa dengannya tahun lalu. Aku tak menyangka, karena kau sendiri tampak biasa-biasa saja, Lizzie, sementara aku selalu menganggap Ombersley sebagai pria yang kurang menarik.”
Adiknya menerima kritik-kritik ini dengan sabar, tapi agak sedih bahwa kakaknya mengira dirinya mampu memiliki pikiran-pikiran demikian buruk tentang keponakannya. “Dan, seandainya pun aku begitu kejinya, kekhawatiran semacam itu sama sekali tidak diperlukan,” Lady Ombersley menambahkan. “Belum ada pengumuman resmi, Horace, tapi aku tak keberatan untuk memberitahumu bahwa Cecilia akan segera dinikahkan dengan pasangan yang sangat ideal.”
“Itu bagus,” sahut Sir Horace. ”Kalau begitu, kau akan leluasa mencarikan suami bagi Sophy. Kau takkan menemui kesulitan. Dia gadis yang memikat, dan dia akan segera memiliki kekayaan yang cukup, selain yang diwariskan oleh ibunya. Tak perlu khawatir juga bahwa dia akan menikah dengan seseorang yang bertentangan dengan pilihan kita. Dia gadis yang bijaksana, dan dia sudah cukup berkeliling dunia untuk bersikap sepantasnya. Siapa pilihanmu bagi Cecilia?”
“Lord Charlbury telah meminta izin Ombersley untuk mempersuntingnya,” ucap adiknya, sedikit dipenuhi rasa bangga.
“Charlbury, ya?” sahut Sir Horace. “Bagus sekali, Elizabeth! Harus kuakui, aku kira kau tidak akan mendapatkan calon menantu yang layak, karena rupa bukanlah segalanya, dan melihat cara Ombersley menghabiskan kekayaannya kali terakhir aku berjumpa dengannya—”
“Lord Charlbury,” ujar Lady Ombersley agak tegas, “adalah seorang pria kaya raya, dan, setahuku, tak memiliki pertimbangan tak pantas seperti itu dalam benaknya. Tentunya, dia sendiri yang memberitahuku bahwa dia merasakan cinta pada pandangan pertama terhadap Cecilia!”
“Hebat!” sahut Sir Horace. “Dia tentu sudah cukup lama mencari-cari seorang istri—setidaknya usianya tiga puluh, bukan?—tapi jika dia benar-benar tertarik kepada gadis itu, itu jauh lebih baik lagi! Hal itu semestinya akan membuat dia mencurahkan perhatiannya kepada Cecilia.”
“Benar,” Lady Ombersley sepakat. “Dan aku yakin mereka akan menjadi pasangan yang sangat serasi. Pria itu sungguh ramah dan baik hati, sikapnya sangat santun, wawasannya amat luas, dan kepribadiannya sungguh menyenangkan.”
Sir Horace, yang tidak begitu tertarik dengan urusan keponakannya, berkata, “Wah, wah, tampaknya dia benar-benar seorang pria sempurna, dan kita harus membiarkan Cecilia berpikir betapa beruntung dirinya menjalin ikatan dengan pria semacam itu! Kuharap kau bisa mendapatkan yang sama baiknya bagi Sophy!”
“Tentu, aku harap begitu!” dia menanggapi seraya mendesah. “Hanya saja, saat ini adalah waktu yang kurang tepat, karena—begini, masalahnya adalah, aku khawatir Charles mungkin takkan menyukainya.”
Sir Horace mengernyitkan dahi, berusaha keras mengingat. “Kukira namanya Bernard. Kenapa dia tidak akan menyukainya?”
“Yang kumaksud bukan Ombersley, Horace. Kau tentu masih ingat Charles!”
“Kalau kau membicarakan putra sulungmu itu, tentu saja aku ingat. Tapi kenapa pertimbangannya penting, dan kenapa dia akan menentang Sophy-ku?”
“Oh, bukan, bukan menentang dirinya! Aku yakin dia tidak akan bisa berbuat begitu! Tapi aku khawatir dia mungkin takkan suka jika kami berfoya-foya saat ini. Aku yakin kau mungkin belum mendengar kabar pernikahannya sendiri yang semakin dekat, tapi harus kusampaikan kepadamu bahwa dia telah bertunangan dengan Miss Wraxton.”
“Apa? Dengan putri si tua Brinklow itu? Sumpah, Lizzie, kesibukanmu tidaklah sia-sia! Tak pernah kukira kau sangat bijaksana! Sungguh pilihan yang tepat! Selamat untukmu!”
“Ya,” ucap Lady Ombersley. “Oh, benar! Miss Wraxton seorang gadis yang amat sempurna. Aku yakin dia punya banyak sekali sifat baik. Dengan wawasan yang sangat luas, dan prinsip-prinsip yang patut dikagumi.”