The Grand Sophy

Noura Publishing
Chapter #2

Dua

Tangan Lady Ombersley terkulai, sementara Mr. Rivenhall segera menoleh dengan mengernyitkan kening. Adiknya, yang melemparinya tatapan penuh amarah, berlari melintasi ruangan ke arah sang ibu, dan berkata, “Berikan kepadaku, Ibu! Charles tak punya hak untuk membakar surat-suratku!”

Lady Ombersley menatap putranya dengan tak berdaya, tapi Charles diam saja. Cecilia merebut surat terbuka itu dari jemari ibunya, dan mendekap surat itu ke dadanya yang berdebar. Hal ini mendorong Mr. Rivenhall untuk bicara. “Demi Tuhan, Cecilia, tak perlu berlebihan begitu!” ujarnya.

“Berani-beraninya kau membaca suratku!” tukas Cecilia.

“Aku tidak membaca suratmu! Aku menyerahkannya kepada Ibu, dan kau tentu takkan bilang bahwa Ibu tidak berhak membacanya!”

Mata biru muda gadis itu berlinang air mata. Dia berucap lirih, “Ini semua salahmu! Ibu takkan pernah—aku benci kau, Charles! Aku benci kau!”

Charles mengedikkan bahu, dan berpaling. Lady Ombersley berucap lemah, “Tidak seharusnya kau bicara begitu, Cecilia. Kau tahu tidak pantas bagimu menerima surat-surat tanpa sepengetahuanku. Entah apa pendapat ayahmu bila dia mendengarnya.”

“Ayah?” seru Cecilia dengan nada mengejek. “Bukan! Charles-lah yang senang membuatku menderita!”

Charles menoleh dari balik bahu. “Percuma saja, kupikir, untuk mengatakan keinginan terdalamku bukanlah untuk membuat dirimu menderita!”

Cecilia tidak menanggapi, hanya melipat surat itu dengan tangan gemetar dan menyelipkannya ke balik bagian dada bajunya, sambil melemparkan tatapan menantang ke arah sang kakak. Tatapan itu dibalas dengan pandangan mencela. Mr. Rivenhall menyandarkan pundaknya pada rak perapian, membenamkan kedua tangan ke dalam saku celana, dan menanti dengan sikap sinis tanggapan yang akan dilontarkan Cecilia berikutnya.

Cecilia malah mengusap matanya, sambil mengatur napasnya kembali di antara isakan pelan. Dia gadis yang sangat cantik, dengan rambut emas pucat yang ditata dengan ikal-ikal kecil di seputar wajahnya yang berbentuk indah, dan kini raut mukanya dipertegas, secara menawan, oleh rona amarah. Biasanya, roman mukanya melankolis, tapi kemarahan pada saat itu telah memunculkan binar perlawanan di matanya, dan dia menggigiti bibir bawah di antara giginya hingga membuat dirinya terlihat keji. Kakaknya, yang mengamati hal ini dengan sinis, berkata sang adik mesti sering-sering marah, karena itu dapat memperbaiki penampilannya, menghidupkan roman mukanya yang agak menjemukan.

Ucapan kasar ini tidak membuat Cecilia terharu. Meski menyadari dirinya cukup dikagumi, dia adalah gadis yang sangat rendah hati, tidak begitu memperhatikan kecantikannya sendiri, dan lebih suka berkulit gelap. Dia mendesah, melepas gigitan bibirnya, dan duduk di kursi rendah di samping sofa ibunya, seraya berujar dengan nada yang lebih biasa, “Kau tak bisa menyangkal, Charles, kaulah yang mendorong Ibu hingga ... hingga memiliki kebencian tak berdasar kepada Augustus!”

“Tunggu dulu,” ujar Lady Ombersley bersungguh-sungguh, “kau salah, Sayang. Aku tidak membencinya sama sekali. Hanya saja aku tidak bisa menganggapnya sebagai suami yang sesuai untukmu.”

“Aku tidak peduli dengan itu!” tegas Cecilia. “Dia satu-satunya pria yang bisa membuatku merasakan cinta—pokoknya, aku mohon agar kalian mau mengabaikan anggapan yang mungkin kalian miliki bahwa aku akan mempertimbangkan lamaran Lord Charlbury yang sangat menyanjung itu, sebab aku takkan pernah menerimanya!”

Lady Ombersley mengutarakan protes yang menyedihkan tapi tak jelas; sementara Mr. Rivenhall berucap dengan gayanya yang lazim, “Tapi, kukira, kau tidak serta-merta menolak lamaran dari Charlbury saat kali pertama disampaikan kepadamu.”

Cecilia mengarahkan pandangan sayunya kepada sang kakak dan menjawab, “Saat itu, aku belum bertemu dengan Augustus.”

Lady Ombersley tampak terkejut mendengar logika pernyataan ini, tapi putranya tidak begitu terkesan. Mr. Rivenhall berkata, “Kumohon, jangan mengarang-ngarang cerita kepadaku. Kau telah mengenal si bungsu keluarga Fawnhope selama sembilan belas tahun!”

“Itu tidak sama,” ucap Cecilia sekenanya.

“Hal itu,” timpal Lady Ombersley, dengan penuh pertimbangan, “memang benar, Charles. Dulu dia bocah yang biasa-biasa saja, dan saat bersekolah di Oxford, dia punya bintik-bintik yang paling mengerikan, sehingga tidak ada yang menyangka dia akan tumbuh besar menjadi pemuda yang sangat tampan! Tapi waktu yang dihabiskannya di Brussels bersama Sir Charles Stuart itulah yang paling mengubah dirinya! Harus kuakui, aku takkan pernah mengenalinya sebagai pemuda yang sama!”

“Kadang aku bertanya-tanya,” tukas Mr. Rivenhall, “akankah Sir Charles juga menjadi pria yang sama lagi? Aku benar-benar tak mengerti bagaimana mungkin Lady Lutterworth berdamai dengan hati nuraninya saat membebankan orang bodoh seperti itu kepada pria terkenal untuk menjadi sekretarisnya. Yang kita semua ketahui, Augustus kesayanganmu itu tidak lagi mengisi jabatan itu. Atau jabatan apa pun juga,” dia menambahkan dengan sengit.

“Augustus,” ujar Cecilia angkuh, “seorang pujangga. Dia tidak pantas untuk ... untuk mengerjakan rutinitas menjemukan sebagai sekretaris seorang duta besar.”

“Aku tidak menyangkalnya,” sahut Mr. Rivenhall. “Dia pun tidak pantas untuk menafkahi seorang istri, Adikku Sayang. Jangan pernah membayangkan aku akan membiarkanmu berbuat kebodohan ini, sebab, kusampaikan sekarang, aku tidak akan membiarkannya! Dan, jangan menipu dirimu sendiri untuk memercayai bahwa kau akan mendapat restu dari ayahku atas perjodohan yang sangat tidak bijaksana ini, sebab selama aku berhak berpendapat, kau tidak akan pernah mendapatkan restu!”

“Aku tahu benar hanya dirimu yang memegang keputusan di rumah ini!” tangis Cecilia, air mata membasahi kelopak matanya. “Kuharap begitu kau telah membuatku putus asa, kau bisa merasa puas!”

Dari mengencangnya otot di seputar mulutnya, tampak jelas Mr. Rivenhall mengerahkan upaya keras untuk menahan amarahnya. Ibunya memandang gelisah, tapi suara Charles saat menanggapi Cecilia ternyata terdengar tenang. “Maukah kau, Adikku Sayang, berbaik hati untuk menahan diri dari melebih-lebihkan situasi ini selama beberapa saat sampai aku tak lagi berada dalam jarak pendengaran? Dan, sebelum kau melibatkan Ibu dengan seluruh bualan ini, bolehkah aku mengingatkanmu bahwa dengan sama sekali tidak memaksamu menerima ikatan pernikahan yang tak diinginkan, kau menyatakan kesediaanmu untuk memperhatikan apa yang kau sendiri gambarkan sebagai pinangan yang sangat menyanjung dari Lord Charlbury?”

Lihat selengkapnya