Namun, baru seminggu setelah liburan Paskah Sophia tiba di Berkeley Square. Satu-satunya kabar yang diterima oleh bibinya dalam kurun sepuluh hari itu adalah surat singkat bertulisan buruk dari Sir Horace, yang menyampaikan informasi perjalanannya agak diundur, tapi bisa dipastikan adiknya akan bertemu dengan sang keponakan tak begitu lama lagi. Bunga-bunga yang telah ditata begitu indahnya oleh Cecilia di kamar sepupunya menjadi layu dan terpaksa dibuang; sementara Mrs. Ludstock, pengurus rumah tangga yang sangat teliti dan cekatan, telah menjemur seprai dua kali sebelum, pada pertengahan siang hari yang cerah pada musim semi, sebuah kereta beroda empat yang tepercik lumpur berhenti di depan pintu.
Kebetulan, Cecilia dan Selina usai berjalan-jalan dengan ibu mereka di taman, dan baru kembali ke rumah belum sampai lima menit. Mereka bertiga hendak menaiki tangga ketika Mr. Hubert Rivenhall datang menghampiri, sambil berseru, “Itu pasti sepupuku, sebab ada setumpuk koper di atap kereta! Kuda yang hebat! Astaga, tak pernah kulihat kuda sebagus itu!”
Pernyataan luar biasa ini membuat ketiga wanita itu menoleh keheranan kepadanya. Sang kepala pelayan, yang baru semenit sebelumnya undur diri dari ruang depan, kembali datang, diikuti oleh anak buahnya, dan berjalan melintasi lantai marmer menuju pintu depan seraya mengumumkan, dengan membungkuk ke arah majikannya, dia melihat Miss Stanton-Lacy telah tiba. Para pelayan bawahan kemudian membuka pintu ganda, dan para wanita itu bisa melihat dengan jelas, bukan hanya kereta kuda lengkap dengan pembantu kusirnya di jalan, tapi raut wajah takjub dan penasaran dari anggota-anggota keluarga lebih muda, yang tadinya bermain kasti di taman rumah mereka, dan saat ini berkerumun di pagar. Meski diprotes oleh Miss Adderbury, mereka asyik memandangi hewan yang telah membuat Hubert bergegas menuruni tangga.
Kedatangan Miss Stanton-Lacy memang benar-benar mengesankan. Empat kuda yang bernapas ngos-ngosan menghela keretanya, dua penunggang kuda mengiringi, dan di belakangnya, berkuda seorang pengurus kuda paruh baya, sambil menuntun seekor kuda hitam yang gagah. Undakan kereta diturunkan, pintu membuka, dan melompatlah keluar seekor anjing greyhound Italia, diikuti sesaat kemudian oleh seorang wanita kurus sambil menenteng tas pakaian, tiga payung penahan panas matahari, dan sebuah sangkar burung. Terakhir, Miss Stanton-Lacy sendiri yang turun, sembari berterima kasih kepada si pelayan atas uluran bantuannya, tapi memintanya untuk memegangi Jacko kecilnya yang malang saja. Jacko kecil malang itu tidak lain adalah seekor monyet bermantel merah, dan begitu fakta menakjubkan itu disadari oleh murid-murid sekolahan, mereka langsung melewati guru mereka yang terkejut, membuka gerbang taman, dan berjalan keluar ke jalan sambil memekik, “Ada monyet! Dia membawa monyet!”
Lady Ombersley, sementara itu, berdiri terpaku seakan kakinya tertanam di ambang pintu rumahnya. Dia menyadari, dengan geram, penjelasan yang disampaikan oleh pria berbadan besar dan jangkung mengenai putrinya itu nyatanya menyesatkan. Si mungil Sophy, putri Sir Horace, memiliki tinggi 175 senti dengan kaki dibalut kaus kaki tanpa sepatu. Perawakannya molek, berkaki jenjang, berdada montok, dengan wajah riang, dan rambut cokelat ikal mengilat yang lebat di bawah salah satu topi paling bergaya yang pernah dilihat sepupu-sepupunya. Sehelai mantel terkancing hingga ke lehernya, syal berwarna hitam yang sangat panjang merosot dari pundaknya, dan dia menggenggam sepasang sarung tangan bulu berwarna sangat gelap yang berukuran amat besar. Lalu, sarung tangan bulu ini disorongkannya ke tangan pelayan kedua supaya dia dapat menyapa Amabel lebih baik, yang pertama sampai untuk menyambutnya. Bibinya yang linglung memandanginya membungkuk anggun di hadapan si gadis kecil itu, menggenggam kedua tangannya, dan berkata sambil tertawa, “Ya, ya, aku memang sepupumu Sophia, tapi kumohon, bisakah kau memanggilku Sophy saja? Kalau ada yang memanggilku Sophia, aku merasa seakan aku ini memalukan, yang sungguh tidak mengenakkan. Katakan, siapa namamu?”
“Amabel, dan oh, kalau kau izinkan, bolehkah aku berbicara pada monyet itu?” ujar Miss Rivenhall bungsu dengan tergagap.
“Tentu saja boleh. Aku memang membawakannya untukmu. Hanya saja, bersikaplah lembut dulu padanya, sebab kau harus tahu, dia monyet pemalu.”
“Membawakannya untukku?” Amabel terkesiap, wajahnya memucat karena kegirangan.
“Untuk kalian semua,” sahut Sophy, sambil melemparkan senyum hangatnya kepada Gertrude dan Theodore. “Juga burung beonya. Apa kalian lebih menyenangi binatang peliharaan daripada mainan dan buku? Aku selalu menyukainya, karenanya kukira kalian mungkin akan merasakan hal yang sama.”
“Sepupu!” seru Hubert, memotong perhatian menggebu dari adik-adiknya yang merasa kerabat baru mereka telah mempertimbangkan selera mereka dengan keakuratan yang tak dapat ditandingi sejauh pengalaman mereka dengan orang-orang dewasa. “Apa itu kuda kepunyaanmu?”
Sophy menoleh, mengamati anak laki-laki itu dengan ketulusan spontan, senyum masih mengembang di bibirnya. “Benar, itu adalah Salamanca. Apa kau menyukainya?”
“Astaga, tentu saja aku suka! Apakah dia kuda Spanyol? Apakah kau membawanya dari Portugal?”
“Sepupu Sophy, apa nama anjing manismu itu? Jenis anjing apa dia?”
“Sepupu Sophy, apakah burung beonya bisa bicara? Addy, bolehkah kita memeliharanya di ruang kelas?”
“Ibu, Ibu, Sepupu Sophy membawakan kami monyet!”
Teriakan terakhir ini, dari Theodore, membuat Sophy menoleh dengan cepat. Begitu melihat bibinya dan kedua saudari sepupunya yang lain di ambang pintu, dia berlari menaiki tangga, seraya berseru, “Bibi Elizabeth sayang! Maafkan aku! Aku malah berkenalan dengan anak-anak lebih dulu! Bagaimana kabar Bibi? Aku senang sekali bisa bertemu denganmu! Terima kasih karena telah mengizinkanku datang kemari!”
Lady Ombersley tampak masih lingung, masih mengandalkan dengan lemah bayangan keponakan kecil pemalunya yang mengabur dengan cepat. Namun, mendengar kata-kata ini, gadis yang polos itu pun lenyap sudah. Dia mencengkeram kedua lengan Sophy, mendongakkan wajahnya pada wajah berseri-seri yang menjulang di atasnya, dan berujar dengan gemetar, “Sophy sayang ... oh, Sophy sayang! Senang sekali! Begitu mirip dengan ayahmu! Selamat datang, Anak Manis, selamat datang!”
Lady Ombersley merasa begitu lemah, dan diperlukan waktu beberapa saat sebelum dia mampu mengingat untuk memperkenalkan Sophy kepada Cecilia dan Selina. Sophy membelalak kepada Cecilia, dan berseru, “Kau Cecilia? Betapa cantiknya dirimu! Kenapa aku tak ingat itu?”
Cecilia, yang sedari tadi merasa agak terkejut, mulai tertawa. Sophy tidak akan berkata demikian hanya untuk menyenangkan hati, dia berkata persis apa yang muncul di pikirannya. “Yah, aku pun tidak ingat!” balas Cecilia. “Kukira kau sepupu berambut cokelat yang kusut dan jangkung!”
“Ya, tapi aku memang begitu—oh, tidak kusut, mungkin, tapi memang jangkung, itu bisa kupastikan, dan sangat cokelat! Aku tidak tumbuh menjadi wanita yang cantik! Sir Horace menasihati agar aku menanggalkan segala keangkuhan—dan dia adalah seorang hakim, asal kau tahu saja!”
Sir Horace benar: Sophy takkan tumbuh menjadi wanita cantik. Tubuhnya terlalu jangkung. Hidung dan mulutnya terlalu besar, dan sepasang mata kelabunya yang penuh arti nyaris tak bisa menebus kekurangan-kekurangan ini sepenuhnya. Hanya saja, kau takkan bisa melupakan Sophy, meskipun kau tak dapat mengingat bentuk wajahnya, atau warna matanya.
Dia berpaling lagi kepada bibinya. “Bisakah orang-orangmu menunjukkan kepada John Potton tempat dirinya bisa mengandangkan Salamanca, Bi? Hanya untuk malam ini! Dan sebuah kamar untuk dirinya sendiri? Aku yang akan mengurus segalanya begitu aku mengenal betul tempat ini!”
Mr. Hubert Rivenhall bergegas meyakinkan Sophy bahwa dia sendiri yang akan mengantarkan John Potton menuju istal. Sophy tersenyum, dan berterima kasih kepadanya, sementara Lady Ombersley berkata tersedia kamar kosong dan ruangan di istal bagi Salamanca, dan tidak semestinya dia repot-repot memikirkan hal semacam itu. Namun, tampaknya Sophy bersikeras untuk repot-repot memikirkannya, sebab dia menjawab dengan cepat, “Tidak, tidak, kuda-kudaku tidak boleh menjadi beban bagimu, Bibi Sayang! Sir Horace secara khusus telah menyuruhku agar mengatur urusanku sendiri. Kalau aku harus mempersiapkan istalku, tentu saja aku berniat melakukannya! Tapi untuk malam ini, Bibi sungguh berbaik hati jika mau menolong!”
Sudah cukup banyak hal yang disaksikannya saat ini yang membuat benak sang bibi pusing. Keponakan macam apa ini, yang mempersiapkan istalnya sendiri, membenahi urusannya sendiri, dan menyebut ayahnya dengan Sir Horace? Kemudian, Theodore mengalihkan perhatiannya, dengan menghampiri ibunya sambil mendekap monyet yang ketakutan, mendesaknya agar sang ibu meminta Addy memperbolehkannya membawa monyet itu ke ruang kelas, karena Sepupu Sophy telah memberikannya kepada mereka. Lady Ombersley beringsut dari monyet itu, dan berkata pelan, “Sayangku, menurutku sebaiknya kau tidak—oh, Sayang, entah apa yang akan dikatakan Charles!”
“Charles tidak sekikuk itu sehingga takut dengan monyet!” Theodore bersikeras. “Oh, Ibu, kumohon minta Addy agar kami boleh memeliharanya!”
“Jacko tidak akan menggigit siapa pun,” ujar Sophy. “Aku sudah memeliharanya hampir selama seminggu, dan dia hewan yang paling jinak! Kau tentu takkan mengusirnya, Miss—Miss Addy? Itu tak bisa dibenarkan, bukan?”
“Miss Adderbury—tapi kami selalu memanggilnya Addy!” Cecilia menjelaskan.
“Senang berkenalan denganmu!” sapa Sophy, seraya mengulurkan tangannya. “Maafkan aku! Ini kurang sopan, tapi aku tidak tahu. Mohon izinkan anak-anak untuk memelihara Jacko yang malang!”
Di tengah kekhawatirannya menghadapi monyet yang disorongkan kepadanya, dan keinginannya untuk menyenangkan gadis ceria ini—yang tersenyum begitu ramah kepadanya sambil mengulurkan tangan dengan sikap tulus—Miss Adderbury sulit berkata-kata dalam kalimat lengkap. Lady Ombersley berkata mereka harus bertanya kepada Charles, sebuah tanggapan yang langsung saja ditafsirkan sebagai izin untuk membawa Jacko ke ruang kelas. Tak satu pun dari anak-anak itu yang memandang kakak mereka dengan buruk sehingga meyakini sang kakak tidak akan keberatan dengan hewan peliharaan baru mereka. Sophy kemudian dipandu menuju ruang tamu biru, tempat dia segera menyampirkan sarung tangan bulunya ke kursi, membuka kancing mantelnya, dan melepaskan topi modisnya. Sang bibi, yang dengan bersemangat mengajaknya duduk di sampingnya di sofa, bertanya apakah dirinya letih sehabis menempuh perjalanan jauh, dan apakah dia ingin minum atau makan sesuatu.
“Tidak, sungguh! Terima kasih, tapi aku tak pernah lelah, dan meskipun agak menjemukan, aku tak bisa menganggapnya sebagai sebuah perjalanan!” balas Sophy. “Seharusnya aku sudah sampai di sini pagi ini, hanya saja aku harus pergi ke Merton lebih dulu.”
“Pergi ke Merton dulu?” ulang Lady Ombersley. “Tapi untuk apa, Sayang? Apa kau punya kenalan di sana?”
“Tidak, tidak, tapi Sir Horace yang secara khusus menginginkannya!”
“Sayangku, apa kau selalu memanggil ayahmu dengan sebutan Sir Horace?” tanya Lady Ombersley.
Mata kelabu itu mulai menampakkan binar gembira lagi. “Tidak. Hanya kalau dia membuatku sangat marah baru aku memanggilnya Ayah!” ucap Sophy. “Dari segala hal, sebutan itulah yang sangat tak disukainya! Kasihan sekali, sungguh berat baginya dibebani dengan orang tinggi kurus seperti ini sebagai putrinya, dan tak seorang pun mengharapkan dia untuk menanggungnya!” Sophy menyadari bibinya terlihat agak terkejut, maka dia menambahkan, dengan keterusterangannya yang menggelisahkan, “Bibi tak suka itu. Maafkan aku, tapi dia memang orangtua yang menyenangkan, dan aku sangat menyayanginya! Tapi asal Bibi tahu, salah satu prinsip yang dipegangnya adalah, tak semestinya kita membiarkan kesukaan kita kepada seseorang membuat diri kita buta terhadap kekurangannya.”
Pernyataan menggegerkan seorang anak perempuan yang terdorong untuk memperhatikan kekurangan-kekurangan ayahnya sangat mengejutkan Lady Ombersley sampai-sampai dia tak mampu memikirkan apa pun untuk diucapkan. Selina, yang senang mencari tahu hingga sedetail-detailnya, bertanya mengapa Sir Horace secara khusus menginginkan Sophy untuk mengunjungi Merton.
“Hanya untuk mengantarkan Sancia ke rumah barunya,” Sophy menjelaskan. “Itulah sebabnya kalian melihatku bersama para penunggang kuda menggelikan itu. Tak ada yang sanggup meyakinkan Sancia malang bahwa jalanan di Inggris tidak dipenuhi dengan bandit dan preman!”
“Tapi siapa itu Sancia?” desak Lady Ombersley, terheran-heran.
“Oh, dia adalah Marquesa de Villacañas! Apakah Sir Horace tidak memberi tahu Bibi namanya? Bibi akan menyukainya—sungguh, bibi pasti menyukainya! Dia agak bodoh, dan sangat pemalas, seperti semua orang Spanyol, tapi sangat cantik dan ramah!” Sophy melihat bibinya kini benar-benar bingung, dan alis matanya yang lurus dan lebat bertaut. “Bibi tidak tahu? Dia tidak memberitahumu? Wah, betapa kejinya dia! Sir Horace akan menikahi Sancia.”
“Apa?” Lady Ombersley terkesiap.
Sophy memajukan tubuh untuk meraih tangannya, dan meremasnya demi menenangkan hatinya. “Ya, dia memang akan menikahinya, dan kuharap Bibi akan turut bersukacita karena wanita itu sangat cocok baginya. Wanita itu seorang janda, dan kaya raya.”
“Orang Spanyol!” sahut Lady Ombersley. “Dia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun tentang hal ini kepadaku!”
“Menurut Sir Horace, penjelasan itu sangat membosankan,” ujar Sophy berdalih. “Aku yakin dia mungkin merasa hal itu akan memerlukan waktu terlalu lama. Atau,” tambahnya, dengan binar jail di matanya, “berharap aku saja yang akan menjelaskannya!”
“Aku tak pernah mendengar hal semacam itu!” seru Lady Ombersley, nyaris naik pitam. “Memang begitulah Horace! Dan kumohon, Sayang, katakan kapan dia berniat menikahi sang Marquesa ini?”
“Yah,” ucap Sophy serius, “kukira, itulah alasan dia tidak ingin menjelaskan semuanya kepadamu. Sir Horace tidak dapat menikahi Sancia sampai aku lepas dari tanggungannya. Malangnya, situasi ini sangat memalukan baginya. Aku telah berjanji akan berusaha sebisa mungkin, tapi aku tak bisa menikahi siapa pun yang tidak kusukai! Dia sangat memahami perasaanku. Satu hal pasti dari diri Sir Horace adalah, dia tak pernah bersikap keterlaluan!”