The Gravity of Us

Maria Evelina
Chapter #2

DUA

Kalian pernah tidak merasa kosong meskipun ruangan yang kalian tempati terasa sesak? Kalian pernah tidak, merasa sepi padahal bumi sedang ramai dengan berbagai suara. Aku sering merasakannya. Entah sejak kapan, aku lupa. Tapi perasaan membingungkan ini suka datang secara tiba-tiba. Perasaan aneh yang mengerikan, tidak berdaya, ingin menangis tanpa sebab. 

Aku sering mencari penyebabnya di internet, dan yang kudapati malah, ini menunjukkan ke gejala depresi. Apa aku depresi? Akan aneh rasanya jika seorang Kalya Serenata Chandini depresi. Aku tertawa saat membaca artikel itu sembari mengingat perkataan temanku. “Lo kok ketawa mulu sih, Kal? Kaya orang nggak punya masalah aja.” begitu katanya.

“Kalya!”

Aku menoleh ke belakang, melihat Jessica berlari ke arahku sembari membawa kayu kecil. Ternyata aku melamun terlalu lama sampai aku lupa di mana aku sekarang. Tangan Jessica terlulur dan dengan cepat aku merebut kayu itu lalu berlari sekencang mungkin sampai di garis finish.

Yah, hari yang cukup panas untuk jam pelajaran olahraga. Tapi mau bagaimana, kami mendapatkan jam siang, di mana matahari sedang berada di atas kepala kami. Membakar kulit kami secara perlahan lalu memaksa kami mengeluarkan keringat kami sebanyak mungkin. Sampai kami kehabisan nafas, seperti ikan yang keluar dari sungai.

“Yes!”

Tika dan kelompoknya berteriak senang. Mereka berjingkrak saling berpelukan. Aku mendesah karena tim kami kalah. Padahal, Pak Guntur janji akan mentraktir tim yang menang. 

“Yaaaah… padahal lumayan es ceban.” 

Aku menepuk pundak Jessica. “Sori, gue ngelamun.” 

Jessica menggeleng pelan, dia merangkul bahuku. “Lupainlah. Katin yuk, udah selesai juga. Gue haus, dehidrasi gue ini kelamaan dipanggang.”

Karena jam pelajaran olahraga berdekatan dengan jam istirahat. Kami memang sering mengistirahatkan diri lebih awal, itu pun atas izin Pak Guntur. Terimakasih Pak Guntur, selalu baik dan perhatian pada kami. Kalau aku lulus nanti, Pak Guntur akan selalu kuingat.

“Heh, dari kapan lo di sini?” aku mengernyit mendapati Arka ada di kantin. Dia tampak santai dengan bukunya. Arka mengangkat kepalanya, dia menatapku sebentar lalu kembali fokus membaca. 

“Barusan.”

“Cabut?”

“Enggak. Hari ini ada ulangan dadakan, gue udah selesai dan Bu Susi nyuruh gue keluar.”

Aku menganga. “Pasti Bu Susi takut lo dimintain contekan, kan?” 

“Iya. Lo habis lari?”

Aku mengangguk lalu duduk di depan Arka. Arka menyodorkan minumannya dan langsung serbu. “Pantes, bau amis.”

“Lemes bener itu mulut!”

“Canda.”

“Hari ini, tim gue kalah. Ck, padahal Pak Guntur janjiin kalau tim yang menang dibeliin minuman. Hilangkan minuman gratis gue.” Arka memajukan wajahnya, tangannya bergerak lalu merapikan rambutku yang basah terkena keringat. Bibirku tersenyum lebar sembari memainkan kakiku.

Aku memang terbiasa dimanja mereka seperti ini. “Enaknya yang jomblo tapi kaya gak jomblo.” cibir Jessica dari belakang.

Oh iya, aku belum menjelaskan apa pun tentang Jessica. Satu-satunya sahabatku selain trio macan. Aku dan Jessica akrab ketika kami duduk di kelas satu semester dua. Awalnya, kami ini tidak akrab sama sekali. Jessica pernah bilang, dia mengira aku ini manusia sombong yang suka pamer. Apalagi katanya setelah dia melihat aku bersama Ollie dan yang lain.

Tapi setelah itu dia malah minta maaf, dia merasa bersalah sudah mengira aku yang tidak-tidak. Aku sih bodoh amat dengan pemikiran orang. Terserah mereka, aku tidak punya hak melarang. Selama mereka tidak mengatakannya di depanku dan membuat emosiku memuncak-muncak, itu tidak menjadi masalah untukku.

Bel istirahat berbunyi. Aku sudah siap-siap menunggu kedatangan iblis dan malaikat. Dan tidak lama kemudian pun suara Ollie sudah terdengar nyaring di telingaku. Dia bahkan mendorong kepalaku dari belakang. Sialan memang ini Anak! Dikasih hati minta jantung!

Aku mengeram, menoleh dan tidak ada dia lagi, balik-balik dia malah ada di depanku dengan muka bodohnya. Entah yah, kenapa manusia ini selalu berhasil mengundang emosiku keluar.

“Kepala lo basah banget sih, bau lagi, nggak mandi seabad lo?”

“Kepala lo bau!”

Enak saja bau! Aku baru keramas tadi pagi! Bisa bedain tidak mana kepala bau mana kepala wangi?! Sabar, Sabar Kalya, sabar… tidak ada gunanya juga menanggapi iblis ini.

“Kenapa sih, lo berdua berantem mulu?”

Jangan tanya aku, Mahesa! Tanya temanmu ini!

“Gatau deh gue, mungkin dia caper ke gue.” balasku. Mahesa mengulum bibirnya menahan senyum sedangkan Ollie melirik jijik. Dih, apa-apaan eskpresinya itu?

“Ngapain gue caper ke elo? Mending caper ke cewek gue. Bisa diajak seneng-seneng lagi.”

Oh Tuhan! Aku ingin muntah tapi aku malah tertawa geli mendengar Ollie, kami semua tepatnya, bukan aku saja. Aku menggeleng menahan tawaku, tapi tidak bisa. “Apa? Pfth! Seneng-seneng maksud lo itu… seneng-seneng ala lo, gitu? Ya Tuhan, jangan bayangin Kalya! Otak lo masih suci.”

“Minta dihajar nih, Anak.” 

Lihat selengkapnya