Hari silih berganti. Sang surya sudah mulai menampakkan kehadirannya lewat cahaya kuning keemasan yang selalu menembus sela-sela jendela kamar Tatjana. Udara pagi yang bersih dengan sedikit kabut yang menghiasi pemandangan pagi ini, membuat suasana pagi ini terasa tenang dan damai. Tatjana yang baru bangun tidur pun langsung bergegas membersihkan tubuhnya dan bersiap-siap untuk menyambut sahabatnya yang akan datang ke rumah untuk menyiapkan perbekalan. Namun sebelum menyiapkan perbekalan, ia memulainya dengan sarapan bersama keluarganya.
“Wah Kak udah rapi aja pagi-pagi, emang mau berangkat jam berapa?” Tanya ibunya.
“Kalau bisa sih jam 10 udah berangkat, jadi gak terlalu siang banget nanti sampe sananya. Lagian kan kita juga belum tau berapa lama perjalanan untuk sampai ke sana,” kata Tatjana yang sambil menikmati coklat panas dan sepiring pan cake buatan ibunya.
“Ya udah, hati-hati. Kalau ada apa-apa, kabarin Mama yah Kak,” Seru ibunya.
Sambil memainkan handphone-nya, Tatjana melihat grup chat dirinya bersama sahabat-sahabatnya.
'Tjan, gua on the way ya ke rumah lo bareng Dara sama Vali,' kata Cetta di grup chat tersebut.
'Gua juga on the way nih, tapi sambil mampir ke rumah yang lain dulu biar bareng berangkatnya,' kata Raymond.
'Okay, gua tunggu yah. Jangan lama-lama kalian, biar kita bisa berangkat lebih cepet,' kata Tatjana.
Selesai sarapan Tatjana langsung membereskan ruang makan dan bersiap-siap untuk menyiapkan perbekalan mereka. Saat ia sedang memilah-milah perbekalan, tiba-tiba suara klakson mobil berbunyi di depan rumahnya.
“Tjana...” Teriak sahabat-sahabatnya dari depan rumah.
“Iya iya sebentar,” seru Tatjana. “Gua ambil kunci dulu.”
“Akhirnya, sampe juga. Sekarang jam berapa sih?” Tanya Chavali.
“Sekarang jam 8, kalo bisa jam 10 kita berangkat yah. Biar gak siang-siang banget berangkatnya,” kata Tatjana.
“Ya udah sekarang kita siap-siap aja dulu, sambil di-check lagi ada yang ketinggalan apa enggak,” kata Shailendra. “Buat makanan dibagi aja yah biar gak berat bawanya.”
Saat mereka sedang bersiap-siap dan mulai untuk berangkat, tiba-tiba ada dua orang anak perempuan yang berusia sekitar 11 tahun dan 5 tahun yang menggunakan pakaian ala Native America atau suku Indian. Anak yang paling tua itu, menggunakan pakaian Indian serta rambut yang di kepang dua. Anak yang paling kecil itu juga menggunakan baju Indian serta ikat kepala dengan rambut pendek yang berponi. Kedua anak itu lalu mengetuk pintu pagar depan rumah Tatjana.
“Permisi,” kata anak-anak itu.
“Iya, kalian siapa? Kalian asalnya dari mana?” Tanya Tatjana sambil mengerutkan dahi.
“Kami berasal dari desa sebrang,” kata anak yang paling tua tersebut. “Kedatangan kami ke sini sebenarnya ingin menjual ruby ini.”
Kedua anak itu datang dengan membawa ruby kecil yang berkilau dan berniat untuk menjualnya kepada Tatjana. Tatjana terkejut karena tiba-tiba saja dua orang anak kecil yang imut ini datang dan ingin menjual permata yang sangat indah. Tapi apa daya, Tatjana tidak memiliki uang untuk membeli permata ruby yang berwarna merah delima tersebut.
“Maaf ya adik-adik kecil yang imut ini, kakak gak punya uang untuk membeli permata indah yang kalian tawarkan,” kata Tatjana dengan suara yang lembut.
“Bukan kak, kami gak mau uang. Kami butuh bahan makanan kak, kami mau ruby ini di tukar dengan bahan makanan,” kata anak itu.
Tatjana terheran-heran karena dua anak itu ingin menjual ruby dan hanya di tukar dengan bahan makanan. Padahal dia tau bahwa desa di sebrang adalah daerah yang sangat subur dengan begitu banyak sawah dan hewan ternak yang menjadi pekerjaan warga di sana.
“Loh, kalian serius mau di tukar dengan bahan makanan, bukan uang?” tanya Tatjana sekali lagi.
“Iya kak, kami serius. Kami mau bertukar bahan makanan dengan ruby ini,” kata anak itu.
Tanpa membuang-buang waktu, Tatjana segera mengambil bahan makanan untuk di tukar dengan ruby tersebut.
“Wah Tjan, beruntung banget lu hari ini. Kapan lagi coba ada orang yang mau jual permata cantik kek gitu cuma di tuker pake bahan makanan,” kata Luke sambil melihat dua gadis kecil itu.
“Sebenarnya gua kasian sih kalo cuma di tuker sama bahan makanan aja. Tapi ya mau gimana lagi, mereka bilang cuma mau bahan makanan aja,” kata Tatjana.
“Ini dek, bahan makanannya,” kata Tatjana sambil memberikan bahan makanan tersebut.
Ketika Tatjana menerima ruby tersebut dari tangan gadis kecil tersebut, tiba-tiba hujan turun dengan lebat.
“Wah hujan lebat banget. Kalo gitu kalian berdua pulangnya nanti aja yah bareng kita. Kebetulan kita juga mau ke desa kalian kok nanti selesai hujannya reda,” kata Tatjana sambil menutup pintu dan mempersilahkan dua gadis kecil itu duduk di halaman rumahnya.
Kedua gadis itu hanya menganggukkan kepala dan selama berada di rumah Tatjana mereka sama sekali tidak berbicara walaupun sahabat-sahabat Tatjana mencoba mengajak mereka untuk berbicara.
“Wah wah wah, gak disangka-sangka ternyata kita harus mundurin jadwal berangkat kita karena hal tidak terduga seperti hujan lebat ini yah,” kata Dean yang berdiri memandangi pemandangan desa depan rumah Tatjana.
“Untung kita belum berangkat loh, kalo gak bisa basah kuyup kita. Soalnya hujannya turun langsung deres, kan kalo dari gerimis bisa langsung siapin jas hujan,” kata Cetta yang lagi duduk.
“Yaudah gapapa, mending sekarang kalian istirahat aja dulu. Jadi nanti berangkat gak ada yang ngantuk. Kalo ada yang mau tidur, ya tidur aja dulu. Masih jam 11 dan hujan juga belum ada kemungkinan untuk berenti,” kata Shailendra.
Mereka akhirnya beristirahat sambil menunggu hujan turun. Dan kedua gadis kecil itu sama sekali tidak berbicara setelah bertukar bahan makanan dengan Tatjana. Akhirnya Hayfa pun penasaran dan bertanya soal kedua gadis kecil itu ke Tatjana yang sedang beristirahat sambil memandangi pemandangan desa yang sedikit tersapu oleh hujan yang lebat.
“Eh Tjan, dua anak itu beneran dari desa sebrang?”
“Iya, tadi mereka sih bilangnya gitu. Kenapa emang Faa?"
“Engga sih, rasanya aneh aja. Emang orang-orang di desa sebrang masih pake baju tradisional Indian yah? Setau gua sih engga. Tapi kenapa mereka pake baju Indian lengkap gitu? Trus full riasan muka ala orang-orang Indian banget lagi.”
“Iya sih, gua juga awalnya bingung kenapa juga masih ada orang yang pake baju suku Indian di jaman modern kayak gini. Tapi menurut gua mereka imut-imut banget pake baju Indian kayak gitu. Tapi yaa, biarlah. Gua gak ngurusin juga kenapa anak itu pake suku Indian. Setiap orang bebas berbusana sesuai keinginan mereka, asalkan tetap sopan dan enak dipandang.”
“Lu gak curiga gitu Tjan?”
“Ngapain curiga, mereka hanya anak-anak yang di minta jual permata itu untuk ditukar sama bahan makanan.”
“Justru gua curiga di situ Tjan, itu kan daerah penghasil bahan pokok makanan. Masa mereka dateng buat barter bahan pokok makanan, sedangkan di sana pasti banyak orang-orang yang punya lebih banyak bahan makanan.”
“Iya sih, awalnya gua juga curiga sama itu. Kenapa juga dia jual ruby ke gua. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin bahan pokok masing-masing orang disana terbatas. Jadi gak bisa ngasih ke orang lain dan dia gak ada pilihan lain selain jual ruby itu ke gua.”
“Positif thinking banget yaa lu Tjan hahaha. Tapi gua tetep masih curiga sama dua anak itu. Karena masih gak masuk akal menurut gua hehe.”
Waktu berlalu dengan cepat. Sekitar pukul 13.00 siang, rintik-rintik hujan mulai berenti dan berganti dengan awan-awan yang masih menutupi sang surya akibat hujan lebat.
“Guys, hujannya udah berenti nih. Kita berangkat sekarang yuk. Sebelum makin sore,” kata Chavali yang sudah beranjak dari istirahatnya.
“Yuk kita berangkat. Tadi udah diperiksa semua kan perlengkapannya gak ada yang kurang?” Tanya Dean.
“Udah semua kok, tinggal berangkat aja,” jawab Samuel.
“Ya udah yuk kita berangkat,” kata Luke.
“Yuk adik-adik kecil yang imut ini kita berangkat,” kata Cetta sambil menggandeng kedua tangan anak kecil tersebut.
Akhirnya mereka berangkat jam 1 siang saat hujan sudah berenti. Jalan yang mereka lewati pertama kali tepat berada di depan rumah Tatjana. Sebuah jalur kecil menurun yang hanya bisa di lewati oleh 1 orang. Mereka pun berjalan melalui jalan berbatu yang bercampur dengan tanah yang licin akibat hujan deras yang sebelumnya membasahi jalan ini. Kemudian setelah mereka sampai bawah mereka harus melewati sungai kecil dengan air yang sangatlah jernih bagaikan cermin yang mengalir tiada henti. Mereka berjalan sambil melompati batu-batuan sungai agar sepatu yang mereka gunakan tidak basah terkena air sungai tersebut.
Selesai melewati sungai dengan air yang sangat jernih tersebut, mereka merasa terkejut karena apa yang mereka lihat bukanlah seperti yang terlihat dari atas rumah Tatjana. Bukanlah sawah hijau yang mereka lihat melainkan sebuah tanah tandus yang rumputnya mulai layu. Tatjana pun merasa aneh karena seharusnya tanah di sekitar sini basah dengan hujan, karena beberapa saat yang lalu hujan yang begitu lebat membasahi semua area yang ada di sekitar rumahnya. Dan juga tanah ini dekat sekali dengan air sungai yang mengalir.
Namun Tatjana tetap berpikir positif. Mungkin hujan yang sebelumnya hanya membasahi area rumahnya tapi tidak dengan desa ini. Mereka semua akhirnya melanjutkan perjalanan ke arah kiri karena di bagian depan tidak ada jalan dan hanya sebuah tanah tinggi yang tidak mungkin bisa di lalui. Di sebelah kanan tertutup oleh pohon-pohon yang sudah hampir mati seperti tidak terawat.
Lagi-lagi mereka terkejut setelah tau bahwa terdapat sebuah tebing berbatu setinggi 20 kaki. Tebing itu berbentuk seperti tangga yang setiap pijakannya setinggi dada orang dewasa.
“Perasaan gua gak pernah liat ini deh dari atas rumah lu Tjan, kok di sini ada tebing kayak gini sih?” kata Addara yang mengerutkan dahinya terheran-heran. “Udah gitu tadi pas baru sampe bawah deket sungai kecil sampe sini mana tanahnya kering banget lagi.”
“Mungkin kalo dari atas rumah gak keliatan kali bagian yang deket-deket sungai ini,” kata Tatjana yang mencoba terus berpikir positif.
“Ya udah mau gimana lagi, masa baru segini udah ngeluh sih mau balik lagi nih?” kata Luke.
“Yuk ah semua cuma gini doang pasti bisa kok,” kata Raymond yang sudah bersiap-siap naik.
“Gak lah masa baru awal gini udah mau pulang, sia-sia gua ambil cuti kalo gak liburan gini. Yuk naik, bantuin gua yah,” kata Chavali.
Dengan bersusah payah akhirnya mereka sampai juga di atas tebing. Di atas tebing tersebut terdapat dua buah pohon yang sangat besar dan hijau. Pohon besar yang rindang itu berada di sisi kanan dan kiri tebing itu seakan-akan membentuk sebuah gerbang.
Lagi-lagi mereka dikejutkan dengan apa yang mereka lihat setelah sampai di atas tebing. Sebuah pemandangan yang sama sekali berbeda saat berada di atas rumah Tatjana. Sebuah hamparan tanah yang tandus dengan dengan semak-semak yang nyaris mati akibat kekeringan yang panjang. Pohon-pohon pun hanya 2 atau 3 yang terlihat sepanjang mata memandang. Pohon-pohon tersebut juga yang sudah mati tanpa ada daun sehelai pun yang menghiasinya. Semua pemandangan yang sangat berbanding terbalik dengan apa yang mereka harapkan saat mereka berada disini.
“Guys, kita benerkan tadi ke desa sebrang yang ada di depan rumah Tjana kan?” Kata Shailendra yang merasa bingung dengan semua yang ia lihat.