Sang surya memang belum menampakkan kehadirannya, namun Shailendra dan Hayfa sudah membangunkan sahabat-sahabatnya pada pukul 05.00. Angin yang berhembus hingga menusuk tulang pun menyapa mereka di pagi hari yang masih gelap ini. Shailendra dan Hayfa langsung memberi tau maksud mereka membangunkan sahabat-sahabatnya lebih pagi. Mereka semua akhirnya merapihkan semua perlengkapan mereka dan menggunakan pakaian hangat untuk tetap menjaga suhu tubuh mereka.
Setelah mereka memeriksa kembali barang bawaan mereka dan tempat mereka singgah, mereka semua siap untuk melanjutkan perjalanan pulang. Dengan suhu yang mencapai minus satu derat membuat mereka harus menggunakan pakaian seperti jaket, topi dan sarung tangan yang tebal selama perjalanan. Mereka juga harus terus bergerak agar dingin yang mereka rasakan berkurang.
“Kalau aja bukan gara-gara warga yang misahin kita kemarin, mungkin gua gak mau kali bangun pagi-pagi buta gini,” kata Raymond. “Mana suhunya sampe minus satu derajat lagi.”
“Tapi ini lebih mending daripada semalem pas kita berteduh di gubuk tua itu,” kata Cetta. “Semalem tuh minus tiga derajat loh.”
“Masa sih, tapi kok gua gak ngerasa sedingin ini yah.” Kata Dean.
“Karena semalem yang dingin itu air hujannya yang bikin suhu bumi menurun,” kata Addara. “Dan angin yang bertiup tadi malem itu bercampur air hujan jadi gak berasa.”
“Iya bener kata Dara,” sahut Chavali. “Kalau sekarang dingin karena anginnya gak terhalang sama air hujan. Dan lagi semalem kan pada panik karena kejadian itu, jadi suhu tubuh kalian juga meningkat.”
“Tumben pinter lu Val hahaha.” Kata Samuel.
Mereka semua tertawa dan tetap melanjutkan perjalanan pulang.
“Wah tumben yah kita jalan aman damai gini gak ada halangan lagi.” kata Luke.
“Belum tentu Luke,” kata Shailendra. “Menurut gua justru ini aneh, seharusnya kita udah sampe rumah Tjana. Tapi sekarang udah hari Selasa lagi yang artinya perjalanan pulang kita dua kali lebih panjang daripada kita berangkat.”
“Iya sih bener juga kata lu, bahkan dari sini gua gak bisa liat rumah Tjana,” kata Luke. “Keputusan lu untuk pulang ini bener banget Len. Sorry gua ngebantah waktu itu.”
“Tenang aja Luke, gua juga mungkin kalau di posisi lu gak mau untuk melewatkan kesempatan ini dan memilih untuk lanjutin perjalanan.” Kata Shailendra.
Mereka berjalan sekitar 2 jam yang artinya sudah pukul 08.00 pagi hari. Sinar mentari sudah menampakan kehadirannya di langit. Kedatangannya sangat ditunggu-tunggu karena dapat mengurangi rasa dingin yang pekat dan berganti dengan udara yang sejuk di pagi hari ini. Mereka semua membuka jaket dan menikmati sinar matahari pagi yang menebus kulit-kulit mereka yang sebelumnya membeku. Namun di tengah perjalanan, mereka menemukan dua jalan bercabang yang menuju arah ke kanan dan kiri. Mereka terhenti sejenak dan berdiskusi tentang jalan bercabang yang mereka lihat.
“Jadi gimana ini? Kita ke kanan atau ke kiri?” Tanya Raymond.
“Kalau liat di film-film sih mereka milih jalur kanan,” Kata Addara.
“Tapi kan di film juga ada yang malah kena jebakan karena milih kanan.” Kata Luke.
“Tapi kan kita juga gak tau ada apa yang di kiri.” Kata Dean.
“Menurut lu kita harus ke mana Tjan?” Tanya Chavali.
“Loh kok gua sih hahaha,” kata Tatjana yang mengangkat kedua alisnya. “Gua juga gak tau hahaha.”
“Ya siapa tau kata-kata lu bener hahaha.” Kata Cetta.
“Gak tau sih, cuma gua lebih milih jalur yang kanan.” Kata Tatjana.
“Gua pun lebih milih jalur kanan sih.” Kata Shailendra.