THE GRIEVING HEART

Donny Sixx
Chapter #2

Evelin

Sore yang merah itu, awan gelap seolah menutupi indahnya cakrawala langit, sehingga membuat segerombolan burung merpati yang beterbangan di angkasa, dipulangkan kembali ke sarang mereka. Di dalam rumah mewah bergaya Eropa, tampak seorang anak gadis sedang memeluk boneka, menaiki anak tangga menuju ke lantai atas. Wajahnya tegang diselimuti rasa takut. Sesekali langkahnya hilang gerak, menapaki anak tangga yang masih berbaris panjang sampai di atas.

Suasana hatinya tidak tenang, gelisah memikirkan keadaan kedua orang tuanya yang tidak harmonis dan selalu meributkan perkara mereka. Terkadang tubuhnya gemetar sendiri, mendengar kegaduhan yang dibuat kedua orang tuanya, ditambah lagi kondisi rumahnya besar dan para pengawal rumah yang tak menolong. Merengek, barangkali hanya itu yang bisa dia lakukan.

Sedikit-sedikit, dia mengambil napas, supaya dapat mendorong langkahnya mendapatkan ruangan yang dia tuju. Semakin dia naik, rona wajahnya lebih tegang sebab suara gaduh kedua orang tuanya, kian merebak di telinganya dan sambaran petir bergejolak, disusul percikan air hujan berjatuhan dari langit. Angin berembus makin kencang, mematahkan ranting kering dan menggugurkan dedaunan. Kepulan awan gelap, mengelilingi seantero langit. Sore hari yang tampak suram seakan hitam menutupi setitik cahaya kehidupan. Anak gadis itu, sekarang berdiri di depan pintu ruangan yang dia dapatkan. Ruangan tersebut adalah kamar kedua orang tuanya. Dia menahan tangis, mengharapkan kegaduhan cepat berlalu.

Tapi, kegaduhan terdengar lebih memanas; suara barang-barang hancur dan isak tangis Ibunya, menggema di balik pintu kamar. Segala macam cacian makian sudah dilontarkan kedua orang tuanya. Dan di celah kecil pintu yang terbuka, Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Ayahnya menghajar Ibunya tanpa ampun bagaikan seekor kelinci betina yang disiksa. Ibunya terus berteriak kesakitan tapi tak digubris. Anak gadis itu, bisa merasakan sakit Ibunya dan memendamnya dalam hati.

Dia kemudian memalingkan wajahnya, dan bersandar di dinding sambil menahan tangisannya dalam mulut. Rintihan dari Ibunya, terus mengusik telinganya sampai Ayahnya merasa puas. Tak berselang lama, Ayahnya keluar dari kamar dengan wajah garang. Ayahnya menatap tajam, dirinya yang bersandar sambil merengek di dinding luar, samping pintu kamar. Secepat itu pula, ayahnya berlalu daripadanya. Dia melangkah ke dalam kamar, menemui Ibunya yang terbaring tak berdaya di lantai, penuh luka memar di wajah. Dia menangis dan memeluk Ibunya.

“Bunda ….” ucap lirih anak gadis itu pada Ibunya.

Ibunya membelai rambut panjangnya.

Lihat selengkapnya