“Bi, apa kau sudah mengantarkan makan siang untuk Eve?” tanya Baron.
Bi Mira menjawab, “Sudah, tuan. Baru saja saya membawa makanannya.”
“Hm.”
“Saya permisi, tuan.”
Baron mengangkat dagu. Bi Mira lalu kembali ke dapur di lantai bawah dan Baron masuk ke dalam kamar untuk mendapatkan Evelin. Dia mendekat dengan kedua tangannya di celana, kepada Evelin yang sedang memegang foto masa kecilnya.
“Untuk apa kau pandangi foto lama itu?” kata Baron sembari duduk di tempat tidurnya.
Evelin tak mau menggubris. Baron kembali berkata, “Apa kamu rindu padanya?”
Dia masih tak mau menggubrisnya. Baron lalu memancingnya untuk bicara dengan sedikit meledek tentang Ibunya. “Ibumu itu sudah lama mati. Tak perlu kau tangisi terus. Dia juga tak akan mungkin hidup kembali,” katanya tersenyum miring.
Dia tetap tak mau menggubris. Baron pun melontarkan kata-kata kotor tentang Ibunya. “Ibumu cuma seorang perempuan jalang yang melahirkanmu ke dunia ini,” ujarnya dengan nada tinggi untuk menyinggung perasaan Evelin.
Emosi Evelin langsung memuncak. “Diam kau! Dasar orang tua yang tidak punya perasaan!” erangnya memburu napas, “belum puas kau terus menghina Ibu dari dulu? Sampai sekarang Ibu sudah tiada, kau masih saja merendahkannya. Apa yang salah dari Ibu?” Dia memandang Baron penuh amarah.
“Ibumu tidak salah. Tapi dia seorang perempuan yang sering mengoceh dan banyak membangkang padaku. Karena itu aku lebih suka, kalau Ibumu sudah tiada.”
“Ibu bukan mengoceh, justru dia ingin menyadarkanmu yang sudah mengambil jalan yang salah.”
Baron beranjak dari tempat tidur Evelin. “Kamu masih kecil saat itu, tahu apa kamu tentang masalah Ayah dan Ibumu?”
“Mungkin aku masih kecil saat itu, tapi, mataku tidak buta. Aku melihat jelas semua perbuatanmu pada Ibu,” ungkapnya menggenggam erat foto nostalgia masa kecilnya.
“Dia pantas dapat perlakuan seperti itu. Ibumu sudah berani melawan aku,” tegasnya.
Heh! Evelin menyelak, “apa ada bagian tubuhmu yang luka saat Ibu bicara? Apa tubuhmu sakit? Atau terputus?”
Baron termangu.