Kota Sukabumi,
Kamis siang, 15 September.
Sambil membetulkan letak duduknya, Merliani Safitri merogoh Vivo V-5 dari dalam tas pinggangnya. Gadis yang masih belum memikirkan untuk menikah di usia kepala tiga ini, terlihat tidak nyaman dengan nama yang muncul di layar smart phone-nya. Hampir satu menit, dia membiarkan panggilan masuk di handphone-nya. Setelah menimang-nimang, panggilan itu pun ditanggapi dengan agak terpaksa.
“Halo Merlian? Kau di mana?” Ujar suara setengah marah di ujung telefon.
“Iii… iya… Pak. Masih di Polres. Nunggu kasus.” Merlian, wartawati Koran Sukabumi Pos; sebuah koran lokal, menghela nafas panjang, “Ada apa Pak?”
“Sudah, tinggalkan saja itu. Kau cek ke Dinas Pendidikan sekarang. Ramai 372[1] tuh. Cepetan.”
“Ta...,”
Telepon ditutup sepihak.
Perintah adalah tugas. Dan mau tidak mau, Merlian beranjak dari tempat berkumpulnya para aparat berseragam cokelat itu dengan segera. Berat.
***
Sudah hampir satu dekade ini, Merlian menjadi reporter. Awalnya, lulusan Fakultas ISIP dari sebuah universitas swasta di Bogor ini, tidak menyangka akan terjebak di bidang profesi dengan tensi kerja sekeras tekanan kompresor udara. Anehnya, meski pekerjaan itu tidak sengaja dia pilih, ia tak pernah berpikir untuk pindah tempat kerja.
Sukabumi Pos, media yang menampungnya, memang sudah mengategorikan Merlian sebagai wartawan senior. Sayang, belum ada jabatan struktural yang berhasil dia raih. Padahal, dia telah menghabiskan hampir 6 tahun kariernya sebagai wartawan lapangan di media lokal tersebut. Oleh sebab itu, jika belum naik karier juga, Merlian memikirkan untuk mengundurkan diri dari tempat kerjanya akhir tahun ini.
“Huff,” hela Merlian dengan suara musik dari handsfree yang diputar kencang.
Sebetulnya, hari ini dia ada janji dengan Dodi. Lelaki itu menjanjikan akhir pekan yang menyenangkan ke pantai. Dan Merlian ingin memastikan itu.
List musik dialihkan ke lagu Iris-nya Goo Goo Dolls. Dia kemudian memasukkan kembali telepon seluler miliknya ke dalam tas pinggangnya. Jemari lentiknya ditepukkan ke belakang jeans birunya. Lalu, berdiri.
Benar juga, sudah dua jam menunggu, Dodi masih sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu belum kembali ke kantor. Apalagi, sampai jam 11 ini, belum muncul tanda-tanda ada kasus besar yang bisa diangkat menjadi reportase. Jika sudah begitu, Merlian harus cepat-cepat mencari lokasi baru untuk mencari berita.
Dasar Dodi sialan. Aku juga kan lagi kerja, ga bisa nunggu seharian kamu di sini!
Kesal.
Merlian mengangkat tas pinggangnya, lalu kembali memasangkan kaca mata dari saku depan kemejanya. Dia melempas seulas senyum pada dua orang brigadir yang sedang berjaga di pos dekat gerbang.
“Pulang Mbak Mer?” ujar salah seorang yang sedang meminum kopi.
Seorang lagi menimpali. “Ga nunggu Pak Dodi? Belum dapet berita ya?”
Pertanyaan yang mengolok-olok, pikir Merlian. Hubungannya dengan Dodi memang aneh. Kekasihnya itu hanya bertemu satu kali seminggu dengannya. Itupun harus di Polres, jikalau sedang tidak menangani kasus. Sementara Merlian pun harus menghabiskan hari-harinya keliling kota kecil itu untuk mencari Berita yang bisa dilaporkan. Pada akhirnya, hubungan polisi-wartawan mereka hanya berjalan via chat Whatsapp saja.
“Ada panggilan ke tempat lain, Mas. Kalau ada Mas Dodi bilang saya cari saja ya. Oh iyya salam buat Kasat Intelkam yang baru. Sampaikan ucapan selamat dari saya ya?” Merlian mencoba berbasa-basi sambil terus melangkah keluar gerbang.
Dia berdiri terpaku di pinggir jalan untuk mencegat angkutan umum. Sejenak Merlian terlihat bak orang bingung. Hingga terdiam beberapa menit di depan gerbang Polresta.
Saatnya cari berita pengganti yang baru. Alias kekasih kekasih pengganti?