Jalur Salabintana, 16 September.
Masuk musim penghujan.
Rerimis melayang di akhir musim panas itu. Memang akhir-akhir ini, musim sulit sekali ditebak. Bulan-bulan yang seharusnya sudah musim penghujan, masih ada sisa-sisa hawa kemarau yang pekat.
Satu-dua kali debum halilintar membuat bulu kuduk berdesiran. Sopir angkutan umum melongokkan kepalanya ke luar jendela. Pandangannya diarahkan ke atas sejenak, lalu menciut khawatir. Tidak ada yang lebih mengancam, selain awan-awan gelap yang tiba-tiba, basah, dan koyak, serta ekor kilat yang mengibas-ngibas seperti hendak melahap bumi.
Padahal transportasi umum berwarna merah itu baru melangkah sejauh tujuh belas kilometer dari pusat kota Sukabumi. Tujuannya ke arah Timur. Terus menuju kawasan Gunung Gede Pangrango. Jika beruntung, penumpang akan diantarkan sampai gerbang hotel paling terkenal di sana, Selabintana. Hari ini, sopir tidak sedermawan yang diduga. Apalagi, penumpang siang itu hanya seorang saja, Merliani Safitri.
“Hujan poyan[1],” kata sang sopir. Usianya masih muda. Tampilannya diseram-seramkan dengan anting sebesar cincin yang dipasang di telinga kanan. Tapi dandanannya yang garang itu tidak sesuai dengan sikapnya yang tidak mau ambil risiko.
Merlian yang duduk di kursi samping sopir mengernyitkan dahi. Menduga satu hal yang tiba-tiba dikhawatirkannya.
“Nyampe atas gak Mas?” Tanyanya,
“… Ke tempat ini.” Lanjutnya, sambil memperlihatkan secarik kertas tercetak alamat dengan tulisan teno.
“Aduh mbak. Gimana ya? Begini saja atuh ya, di depan ada pangkalan ojek. Nanti saya suruh antarkan Mbak ke tempat tujuan, ya?” Jawab supir meragu, sepertinya dia merasa isyarat tidak baik dengan perubahan cuaca tiba-tiba itu.
“Ah gimana dong. Saya bayar dua kali lipat, ya?” Rayu wartawati setengah baya itu. Rambut sebahu miliknya ditepuk ke belakang.
Sopir itu sekali lagi meminta maaf, kemudian menurunkan perempuan itu di sebuah pangkalan ojek. Dia kemudian mengibaskan tangannya agar jangan dibayar untuk kali ini.
“Untuk ongkos ojek saja,” kata sopir.
Dan Merlian merasa lega masih ada orang-orang baik di dunia ini. Walaupun dengan tampilan wajah menyeringai, seolah preman kampung.
Dua buah motor diparkir di sebuah jalan menyabang. Tentu saja di tempat itu tidak ada ojek online, ojek konvensional pun masih jarang stand-by di pangkalan. Seorang tersenyum, menawarkan jasa. Merlian mengamini. Pengojek itu lekas menderum-derumkan motornya.
Jalur yang diambil tukang ojek itu keluar dari jalan raya aspal. Jalan berbatu dengan lumpur kental di ceruk jalan. Kanan dan kiri jalan masih asri. Pepohonan besar masih menjulang kokoh. Meski demikian, di satu kesempatan, Merlian melihat petir di siang bolong meledakkan ujung pohon Agathis setinggi hampir 35 meteran. Dadanya berdegup kaget, hingga tak sadar menjerit liar.