The Guesthouse

Panji Pratama
Chapter #4

Bab 3 : The Guesthouse

Tiang besar di depan panggung parkir dibuat seperti bentuk bambu, hanya bewarna cokelat gelap. Setelah tangga pelataran, terdapat dua pohon bonsai besar yang disimpan di kedua sisi pintu masuk. Gerbang masuknya sendiri tidak memakai daun pintu, hanya semacam portal kotak seumpama gerbang pemeriksaan logam di bandara. Terbuat dari bambu sebesar paha orang dewasa, dengan hiasan daun bambu dari plastik. Juga terdapat dedaunan plastik lain yang bentuknya merambat.

Semilir angin gunung masih terasa hingga masuk lobi utama. Sebetulnya tidak pas juga disebut lobi. Berbeda dengan lobi hotel atau penginapan lain, ruangan depan guesthouse ini lebih nampak ruang tamu yang disulap menjadi kantor depan. Hanya saja dengan perubahan sedikit di desain interior ruangan, nampak kesan rumah adat Sunda yang kuat. Selebihnya rumah besar itu menyerupai galeri barang-barang tradisional, seperti pajangan dari bambu dan lukisan-lukisan pertanian.

Meski terkesan angker, karena arsitek bangunan yang sudah tua, bangunan itu menyulap pesona. Letaknya yang terisolasi oleh pagar lereng tebing-tebing tinggi membuat bangunan itu layaknya sedang didekap dua gunung. Suasana semakin khusuk dengan barisan jenis pepohonan rimbun dan lebat. Pesona-pesona alam itulah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa penyewa penginapan. Jalan masuk dan keluarnya pun hanya satu. Jadilah, guesthouse ini seolah kawasan bebas dari dunia luar. Dengan kata lain, terpencil.

Jika sedang tidak ada pengunjung, suara gemericik air selokan di samping depan lobi pasti terdengar. Air tak berwarna itu meluncur langsung dari sela-sela tanah Gunung Gede Pangrango. Dinginnya hampir sama dengan suhu minimal pada lemari pendingin. Di awal hari dan setelah Ashar, pandangan akan sedikit terhalang oleh uap air yang melayang. Dedaunan basah sepanjang hari. Apalagi, musim penghujan. Sinar matahari tak sampai ke tanah, karena terhalang rimbun pepohon setinggi gedung tiga lantai. Meski jam sudah menunjukan pukul 13 siang, suasana di tempat itu seolah masih pukul 10 pagi. Bahkan, kicau burung dan lolongan monyet liar semakin mengaburkan waktu di tempat hampa waktu itu.

Guesthouse Mochi Halimun, sengaja dinamakan demikian karena kondisi tempat itu yang selalu diselimuti embun tiap hari. Adapula sebuah informasi di papan pengumuman lobby yang menjelaskan bahwa bangunan peninggalan Belanda ini pernah dipakai sebagai pabrik kue mochi. Usia pabrik kue mochinya sendiri tidak bertahan lama. Karena sulitnya akses dan pembangunan ke daerah tersebut, mengakibatkan pemilik pabrik memindahkan usahanya ke daerah yang lebih mendekati kota.

Letak Guesthouse Mochi Halimun berada di sebelah Tenggara Hotel Selabintana. Tepatnya duabelas kilometer lebih dari Terminal Selabintana. Itu berarti, sekitar tiga jam perjalanan dengan berjalan kaki lewat jalan utama dari Hotel Selabintana. Karena memang angkot jurusan Kota Sukabumi, memutar balik di Hotel Selabintana. Oleh karena itu, pelataran Hotel yang juga merupakan peninggalan Belanda itu, berfungsi sebagai terminal juga.

Meskipun, terdapat jalur jalan yang cukup besar menuju Guesthouse Mochi Halimun, tidak bisa dikatakan jalan yang nyaman untuk dilewati kendaraan. Jalannya selebar satu meter setengah dari batu-batu kali seukuran buah kelapa. Melewati jurang-jurang dalam dan belokan curam. Jarang sekali tetamu atau warga yang lewat jalan tersebut, karena risiko kecelakaan yang mengancam. Jalan itu sudah lebih dari 30 tahun tidak lagi mendapatkan perhatian pemerintah daerah untuk mendapat giliran pengaspalan. Mungkin alasan jarangnya rumah warga di sana menjadi pertimbangan pihak desa dan dinas pekerjaan umum untuk mencari lokasi yang lebih prioritas.

Maka, kebanyakan warga asli yang tinggal di daerah tersebut lebih memilih untuk menggunakan jalur alternatif lewat padang ilalang, walau sebetulnya harus memutar cukup jauh. Mereka mempertimbangkan keselamatan pengunjung, seperti yang dilakukan tukang ojek yang membawa Merlian tadi pagi.

Guesthouse ini jarang sekali ramai pengunjung. Letaknya yang jauh dari tempat wisata utama Selabintana menjadi alasan. Hanya waktu-waktu tertentu saja, guesthouse ini laku disewa. Biasanya di awal tahun ajaran baru sekolah, baru terlihat ramai. Itupun untuk dipakai kegiatan ospek siswa-siswi sekolah atau mahasiswa. Rute sekitar guesthouse sering dipakai para pendaki untuk sampai ke curug Cibeureum, tempat wisata air terjun di Tenggara Gunung Gede-Pangrango. Terkadang, para tamu yang hendak kemping sering menggunakan hutan belakang Guesthouse Mochi Halimun sebagai patokan menginap di alam.

Berbeda dari musim kemping biasanya, bulan ini Guesthouse Mochi Halimun hampir tanpa penyewa. Kecuali hari ini, sembilan tamu datang berurutan dan berkumpul di depan resepsionis untuk mengecek nama-nama mereka apakah sudah didaftarkan atau belum.

Merlian, sang wartawati sempat mengambil gambar lewat tustelnya beberapa langkah setelah melewati pintu masuk lobi.

Atap lobi yang tanpa langit-langit, sehingga terlihat sinar redup melewati atap rumbia, didokumentasikan segera oleh Merlian. Sebelah sudut kanan ruangan terdapat meja-meja penuh makanan dengan tampilan mirip resepsi pernikahan adat Sunda.

Empat orang duduk-duduk di kursi tunggu lobi. Dua di antaranya berbicara akrab, seolah sudah kenal lama. Hanya saja, senyum keduanya seolah dipaksakan. Satu orang mengeluh barang bawaannya terlalu banyak dan berdiri dekat patung Hanoman di sisi meja resepsionis. Dua orang lain, terlihat ngotot kepada petugas guesthouse di resepsionis.

Merlian mendekat ke meja resepsionis.

“Maaf, Mas. Apakah kami sudah bisa menyimpan bawaan kami?” Tanya Merlian menyela. Kontan kedua orang yang sedang kesal, melirik si tamu yang baru datang dengan mendelik.

“Sebentar dong Mbak saya dulu.” Sergah lelaki ber-sweeter dengan gambar tulisan grup musik cadas. Rambutnya kering dan acak-acakan. Di pundak kanannya, tas gendong disoren sebelah.

“Saya dulu, mas. Saya kan datang duluan.” Seru lelaki sebelahnya. Tubuhnya cukup tinggi. Wajahnya tirus seperti jarang makan. Jaket kulit hitam diseletingkan hingga menutup lehernya. Tangan sebelah kanannya selalu mencoba menutupi tas pinggang kecil di pinggangnya. Sepertinya, terdapat benda berharga atau mungkin sejumlah uang di dalam tas tersebut.

Lihat selengkapnya