The Guesthouse

Panji Pratama
Chapter #5

Bab 4 : Kematian Pertama

Gedung guesthouse Mochi Halimun di kawasan gunung Gede Pangrango, Selabintana, tidak terlalu ramai pengunjung di bulan September. Aksesnya yang sulit dijangkau kendaraan roda empat mungkin menjadi salah satu alasan. Desas-desus dari petugas resepsionis tadi, gedung ini dibangun oleh Dr. Andries de Wilde, sang mandor dari Belanda, untuk istri mudanya yang asli pribumi.

Pemandangan berbeda terjadi pada hotel-hotel lain di kawasan kaki gunung Gede-Pangrango, Selabintana. Di sana berjejer banyak sekali penginapan dan kawasan wisata alam yang selalu ramai pada akhir pekan, di bulan apapun sepanjang tahun. Kebanyakan pengunjung kawasan wisata Selabintana adalah eksekutif kaya ataupun pejabat yang hendak memuaskan hasrat kejantanan mereka bersama kekasih gelap mereka. Sudah menjadi informasi umum bahwa kawasan wisata ini menjadi lokalisasi terselubung. Hotel-hotel ataupun penginapan sepanjang jalur menuju Gunung Gede Pangrango ini sengaja disediakan sebagai rumah kedua para pemuas seks ini. Karena itu pula, kawasan-kawasan wisata di dataran tinggi seperti Selabintana ini menawarkan perempuan-perempuan muda yang bisa diajak kencan semalam oleh para lelaki hidung belang.

Seperti pengulangan kejadian dahulu. Memang pada awalnya, di daerah ini tidak dibentuk menjadi kawasan lokalisasi seperti itu. Para mandor Eropa dan Belanda sengaja membangun rumah-rumah di kawasan ini untuk tempat santai. Sebagian dari mereka ternyata merasa nyaman, seolah-olah dimanja oleh alam. Kemudian, para mandor Eropa ini menikahi perempuan-perempuan pribumi asal kawasan tersebut. Pada akhirnya, karakter cari aman dan cari nyaman ini ditiru sebagian bangsa pribumi yang sama-sama ingin memuaskan hasrat nafsu mereka semalam.

Berbeda dengan itu, Guesthouse Mochi Halimun yang jaraknya duabelas kilometer lagi dari pusat kawasan wisata Selabintana, keadaannya sering sepi pengunjung. Adakalanya, setahun hanya dipakai menginap sekali oleh para anggota pramuka yang sedang pembaretan saja. Area luas gedung ini pun tidak seperti hotel-hotel di kawasan wisata Selabintana sebelah bawah gunung. Gedung utama yaitu lobi resepsionis dan front office hanya berukuran 10 m x 8 m. Kamar penginapan terpisah dari gedung utama, berupa rumah-rumah kecil tipe 21 dengan kapasitas dua kamar tidur. Terdapat lima rumah inap yang masing-masing berjarak 10 meter antar rumah lainnya. Arsitektur klasik rumah-rumah itu terlihat dari daun jendela yang besar dan fentilasi atas yang menyerupai bentuk salib.

Rumah-rumah inap itu ditata melingkar dengan pintu depan menghadap sebuah kolam bundar berair mancur. Sayang kondisi air mancur sudah tidak terawat tanpa air dan dinding berlumut. Belakang rumah inap langsung terhampar hutan tropis Gunung Gede Pangrango.

Ada sebuah jalan setapak kecil menuju hutan, yang langsung menuju wisata utama guesthouse ini, yaitu air terjun Cibereum. Konon, air terjun ini airnya berwarna merah. Dan perjalanan menuju sana memerlukan kondisi fisik prima karena tingkat kelandaian dan kemiringan gunung mencapai 60 derajat.

Mungkin sekarang, Guesthouse Mochi Halimun kembali menggeliat. Walaupun hanya sembilan orang tamu, gedung singgah itu tidak lagi menampakan keheningan. Dari tower air yang sudah berkarat terus terdengar suara berisik air yang dipompa ke atas. Begitupun gedung aula yang terletak di sebelah Timur front office, nampak lampu kerlap-kerlip sudah bisa dilihat dari kejauhan.

Jam dinding di atas meja resepsionis sudah menunjukan pukul 16.35 WIB. Hampir maghrib, akan tetapi peserta undian belum mendapatkan kejelasan menginap di mana.

“Maaf Pak Endang Warsita,” Nurdin mengamati nama yang tertulis di dada pria di depannya, “Sudah hampir dua jam nih kami menunggu!” suara sales produk elektronik itu meletup-letup naik.

“Maaf sekali Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Seperti saya sudah saya jelaskan, kami memang kekurangan pegawai. Saya juga menyampaikan permohonan maaf dari pihak panitia tidak bisa bertemu langsung dengan Bapak-Ibu sekarang. Tapi mereka menjanjikan acara puncaknya besok akan berjalan dengan meriah.” Jelas Endang yang bertubuh gelap dan tegap mirip warga asing keturunan Timur Tengah. Dari cara bicaranya yang tenang dan berat, semua pengunjung menduga dia berusia empatpuluhan.

“Dikarenakan alasan teknis, kami membagi sembilan pengunjung yang hadir menjadi dua kelompok besar. Masing-masing dibagi menjadi empat dan lima orang, yang akan mengisi satu rumah inap. Jadi, saya hanya akan memberikan dua kunci rumah inap saja. Bapak-Bapak mengisi rumah nomor 1 di sebelah Selatan. Sedangkan, ibu-ibu kami siapkan rumah inap nomor 3 di sebelah tengah halaman. Silakan menuju ruangan yang telah disiapkan. Biar barang-barang pengunjung sekalian diurus oleh Asep, petugas kami.” Jelas sang pengurus guesthouse, sambil memberikan kedua kunci ruangan.

Tetamu yang sudah ingin segera merebahkan tubuh mereka seakan tak peduli petunjuk teknis dari Endang. Peserta pria yang ada terlihat agak acuh berjalan menuju rumah.

Sebaliknya, Rini dan Yeni sengaja mengobral keramahan untuk menunjukan eksistensi mereka. Sedangkan, Merlian nampak berlali-lari kecil, karena ketinggalan paling belakang. Sebelumnya dia memang menanyakan tentang ke mana dan di mana panitia acara berada, namun masih belum dijawab dengan memuaskan oleh Endang.

“Eh, Lo lihat deh karyawan yang namanya Asep itu?” Ucap Rini pada Merlian, sesaat setelah menaiki tangga rumah inap perempuan, “Gue curiga orang itu pura-pura dungu.”

“Pria itu tuna wicara, Mbak Rin. Bukan dungu.” Jawab Siti sambil menurunkan tas bawaannya. Kemudian seluruh perempuan itu duduk sejenak di beranda guesthouse.

“Iya kamu mah asal bicara ih. Kalau kedengaran marah loh. Udah yuk kita masuk, mana kuncinya?” Yeni, janda pemilik warung nasi menagih kunci pada Merlian.

Merlian segera bangkit lagi. Memilih kunci antara kunci depan dengan kunci kamar. Memasukkan kunci yang dirasa tepat pada lubang pintu depan. Lima menit kemudian mereka berebutan mengisi dua kamar yang ada.

Rini menjatuhkan barangnya di ruang tamu lalu beranjak ke kamar tidur yang telah dibuka.

Gue di depan ya sama Merlian.” Ujarnya seolah sudah kenal lama.

Dua peremuan lain hanya bisa melepas nafas panjang dengan sikap memerintah tamu wanita ini.

Tidak berbeda dengan guesthouse yang ditinggali para perempuan. Rumah inap paling Selatan yang ditinggali para peserta laki-laki berdesain rumah semi-minimalis Eropa. Terdapat satu cerobong asap di sebelah tengah ruang tamu. Awaludin sedang jongkok di depan tungku mencoba menyalakan kayu bakar yang sudah ditumpuk segitiga. Pemuda itu terus saja membicarakan tentang pengalamannya sebagai relawan Gunung Gede Pangrango di Selabintana ini.

“Enam tahun lalu, Gue aktif di Markas Pecinta Alam Gunung Gede Pangrango ini. Jadi, soal menyalakan api di gunung sih gue jagonya.” Pria gondrong itu tertawa tanpa menghiraukan peserta lain yang acuh padanya.

Lihat selengkapnya