The Guesthouse

Panji Pratama
Chapter #7

Bab 6 : Undian

Sabtu pagi,

Sebuah tempat di Hutan Gede Pangrango

DELAPAN TAMU itu sudah berganti kostum. Kebanyakan memakai seragam olah raga. Kecuali Merlian, yang nampak lebih cuek dengan kaos oblong cokelat dan celana jeans biru muda.

Endang mengecek daftar presensi. Semua peserta hadir, kecuali satu orang. Beberapa kali, Awal memanggil ulang nama yang disebutkan Endang.

Oiii, Ujang. Mana Ujang?” Teriak Awal sambil melongok kanan-kiri. Orang yang disebutkan namanya tidak menimpali.

“Tadi sih kulihat dia masih diselubungi selimut.” Rizal berinisiatif menjawab, sambil meminta konfirmasi Dadang dan Alija. Padahal, pada kenyataannya tidak seorang pun teman sekamar Ujang yang benar-benar sadar akan keberadaannya di kamar.

“Terus ngapain dia ke sini, kalau gak ikut berlomba memperebutkan mobil itu?” Awal meracau sendiri. Sebenarnya, lelaki peserta itu senang saja dengan ketidakhadiran seorang di antara mereka. Itu artinya peluang dirinya untuk memenangkan hadiah mobil yang dijanjikan semakin besar.

 “Ya, tadi kutinggalkan dia di dalam kamar tanpa dikunci. Biar saja, mungkin dia terlalu mabuk semalam.” Dadang ikut memastikan keberadaan Ujang yang sebenarnya dia pun ragu apakah yang bersangkutan masih ada di dalam atau tidak.

“Tapi, kamar aman kan? Dia bukan pencuri?” Sindir Alija.

“Tenang saja tuan-tuan, saya akan terus berada di penginapan ini. Saya yakin tidak akan ada tindakan kriminal apapun di tempat ini.” Endang menengahi sambil tersenyum singkat.

Setelah diyakinkan seperti itu, mereka berdelapan menuju depan lobi front office. Di sana sudah menunggu APV yang diperebutkan, tetapi dalam kondisi mesin panas.

“Kok, mobil lombanya dipakai? Ntar rusak gimana?” Ujar Rizal, orang terakhir yang menumpang mobil tersebut. Asep nirjawab. Lelaki tuna wicara itu fokus dengan kemudinya.

Delapan penumpang itu memasang wajah kecewa. Mereka menyayangkan hadiah utama mobilnya harus dipakai on the road test. Seharusnya panitia menyiapkan mobil lain dong, pikir Merlian.

Dua puluh menit berlalu, kondisi mobil mulai berguncang. Jalanan yang tadinya aspal, walau sudah penuh bolong dan rusak berat, berganti batu-batu. Medan yang dilewati semakin berat. Kiri-kanan jalan hanya pohon-pohon besar yang akar parasitnya menjuntai. Sebelah kiri jalan langsung menghadap jurang landai.

“Apaan sih, jalurnya kok begini? Bisa mati kita kalau terus begini. Ngapain juga sih berebut mobil bekas pakai segala, mana taruhannya jalan jelek dan jurang lagi. Kalau longsor gimana?” Celetuk Rini dengan tisu menghapus lipstik di ujung bibirnya.

Kalimat itu seakan membuat ketujuh penumpang lain menjadi kesal. Meski, mereka yakin omongan Yeni itu penuh basa-basi. Bagaimanapun, perempuan itu pun begitu bernafsu mendapatkan hadiah Mobil APV, walaupun sudah dipakai melintas jalan terjal.

Lama-kelamaan, kekesalan mereka memuncak. Perlahan air muka mereka berubah penuh tekanan. Kecuali Alija yang lebih sibuk dengan pilihan lagu di ponselnya, Merlian sempat mengetuk-ngetukkan HP Androidnya ke besi pegangan pintu.

“Sial. Belum ada sinyal juga?” Ujar Alija tiba-tiba. Merlian melirik sinis, seolah sebal dengan sikap anak itu yang mau menegurnya dengan kata-kata itu.

Dua puluh menit berlalu dengan guncangan dan hentakan. Mobil kota itu harus menempuh medan berat. Sesekali kaki-kaki belakang berbunyi ‘trek’ saat ban mobil menghantam batu besar. Setelah menunggu dengan kesal, Asep membelokkan mobil dengan cepat, sehingga untuk beberapa mili-detik mobil sedikit memiring 30 derajat ke kiri. Baru setelah belokan tajam itu, jalanan lumayan mulus oleh kondisi jalan dari tanah kering.

“Di mana ini? Oh iya, Bosmu mana?” Tanya Rini.

Sang sopir hanya tersenyum dari balik kaca spionnya. Dadang yang duduk di kursi depan menilik sang sopir dengan kesal.

Mendingan saya yang bawa mobilnya. Bawa mobil di hutan kok serampangan begini, rusak dong mobilnya.

Awal berspekulasi dengan niat meledek.

Lihat selengkapnya