The Guesthouse

Panji Pratama
Chapter #10

Bab 9 : Optimisme yang Salah

Awal, pria dengan bekas tato yang gagal dihapus di lengan kirinya, mengecek arloji. Pukul 13.42. Panas matahari di atas gunung langsung meresap sampai ke ubun-ubun. Sebaliknya, bagian kaki dari lutut ke bawah terasa kaku karena dingin yang menyesap.

Medan pendakian sampai juga di daerah curam. Di sisi-sisi jurang terdapat banyak pohon Jabon. Mamalia sejenis tupai berlari cepat menyusuri batang pohon tepat di atas kepala mereka. Bau kulit pohon baru terkelupas serupa menciumi rebusan daun lalapan. Apalagi terbawa alunan angin yang menggelincir dari balik sela-sela gunung. Terasa segar dan menggiurkan.

Jika saja bukan sedang berkompetisi, pasti Awal tergiur untuk menikmati barang sejenak angin lembut pegunungan itu. Kenyataannya, Awal yang seorang pendaki kawakan saja, merasakan kelelahan yang luar biasa. Dirinya menduga hal tersebut karena patnernya selalu menghambat trik-trik menghemat tenaga dalam mendaki. Salah satunya adalah jangan terlalu banyak berhenti untuk istirahat dan jangan terlalu banyak makan. Alhasil, jarak pendakian, jadi seolah-olah lebih panjang serta bertambah lama.

“Ah, kau lambat sekali Nyonya.” Teriak Awal yang sudah 10 meter mendahului di atas jalan landai.

Yeni yang disentil Awal malah melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan saat mendaki: istirahat dan bawa makanan banyak.

Yeniawati memompa lebih keras kantung paru-parunya. Namun, jantungnya tercekik, seolah mesin motor yang kering tidak beroli. Mengeluh pun, perempuan paruh baya itu tidak bisa. Mulutnya terlalu lelah mengunyah sehingga nafasnya tersedak terus.

“Kau jalanlah dulu,” nafasnya terseok-seok, “Biar aku istirahat dulu. Jika sudah sampai tempat datar, tunggu aku ya.” Pintanya.

Awal meludah kesal.

“Nyesel sekelompok sama perempuan tua,” umpatnya yang sedikit dilantangkan. Bagi Awal yang seorang pendaki gunung, pantang untuk berleha-leha ketika sedang merambah bukit seperti itu.

Lihat selengkapnya