Tim Kedua, 13.28 WIB
SEPERTINYA KITA sudah jauh tertinggal ya Neng?” Dadang mencoba ramah. Langkahnya diperlambat begitu berada di jalur setapak yang agak becek. Tangannya dijulurkan untuk membantu Siti melewati genangan lumpur.
Keduanya memang kebagian di urutan kedua keberangkatan, tetapi entah kenapa posisi mereka jadi terakhir. Setengah jam lalu, Dadang berinisiatif keluar haluan jalan utama pendakian dan mencoba melewati jalan setapak untuk mencapai pos pertama di puncak bukit. Mungkin karena salah berbelok atau jalur yang becek dan licin, Dadang dan Siti merasa perjalanan semakin menjauh dari peta yang diberikan di awal.
Beberapa kali, Siti sempat mengingatkan untuk kembali ke jalur utama agar tidak tersesat jauh. Dadang terlalu yakin, bahkan tidak menggubris masukan gadis muda itu. Kini, mereka kebingungan.
“Ikuti saja saya. Percayalah, nanti juga sampai.” Rayunya pada Siti. Di lain sisi, Siti sedikit takut dibawa ke luar jalan yang ada di peta oleh Dadang.
Sebetulnya, pria empat puluh tahun ini awalnya meragu untuk ditandemkan dengan Eneng Siti Sondari. Sama seperti lelaki lain yang satu kelompok dengan perempuan, Dadang khawatir daya tahan perempuan akan menghambat perjalanannya. Sayang, sikap meragu itu malah diikuti dengan pikiran-pikiran sesat. Dadang sering sengaja melihat tubuh molek gadis itu dengan penuh nafsu.
Betapa tidak, gadis itu masih ranum. Tubuhnya memang tidak terlalu tinggi dan semampai, tetapi dada dan bokongnya akan selalu diimpikan setiap lelaki yang melihatnya. Wajah gadis itu manis lugu. Bulu matanya lentik serupa kupu-kupu hutan. Ditambah bibir yang merah hangat bak bunga hendak mekar. Walau berbalut busana training kuning, gerak-gerik Siti seperti penari jaipong yang mengentak-entak jiwa penontonnya. Jadilah, pikiran Dadang menyuruh darah di jantungnya mempercepat aliran darah hingga ke urat-urat khusus agar bergerak kembang-kempis.
Maka, Dadang sama sekali tidak pernah memperlihatkan ingin merebut hadiah secara menggebu-gebu pada saat dekat dengan Siti. Sopir angkot itu seolah acuh dengan iming-iming hadiah itu. Di lain sisi, Dadang sedang menginginkan hal lain. Istrinya yang tidak ada kabar lagi setelah menjadi TKW di Arab Saudi, membuat berahinya selalu resah. Oleh karena itu, Dadang mempunyai tujuan ganda pada akhirnya.
“Bapak tidak berniat sekali terhadap hadiah mobil itu ya, Pak.” Gadis 19 tahunan itu mendongak.
Dadang diam. Menjawab “Tidak juga.” Sebuah jawaban yang ambigu.
“Neng tidak sekolah. Atau kuliah?” Kali ini Dadang yang buru-buru memulai pertanyaan.
Gadis itu mengangguk sambil membetulkan celana trainingnya yang agak melorot. Melihat kejadian itu, Dadang sedikit menelan ludah.