MERLIAN MELANGKAH cepat. Kakinya yang pegal karena lelah menanjak tidak lagi digubris. Kecelakaan barusan di luar logikanya. Mana mungkin gubuk yang tadinya kokoh bisa roboh begitu saja. Ia yakin ada yang salah dengan kompetisi ini.
Jaket sport yang dikenakan Merlian dibuka, lalu dibuang begitu saja. Dia harus mengambil keputusan cepat. Naik sedikit lagi ke atas lalu turun melalui jalan setapak seperti yang disampaikan si petugas guesthouse atau kembali ke kaki bukit lewat jalur yang tadi dia pakai bersama Alija.
Dalam kebingungan dan ketegangan itu, dia merasakan ada seseorang yang sedang mengincarnya dari belakang.
Merlian gugup. Kepanikannya bertambah saat menengok ke belakang, jaket yang tadi dibuangnya mendadak menghilang. Karena itu, dia tidak lagi memperhatikan jalan di depannya. Kaki kanannya terkilir. Tubuhnya terseok-seok. Pada saat bersamaan, sepatu sebelah kirinya menginjak batu licin. Setakat itu pula tubuhnya melayang kehilangan kekuatan.
Badannya menggelinding di sepanjang jurang. Kotoran lumpur dan rumput patah menempel di kausnya. Beberapa bagian kausnya koyak karena ranting-ranting. Pada akhirnya, tubuh berputarnya terhenti di satu titik. Merlian berdiri meski dengan kepala pening dan badan memar-memar. Kaki kanannya yang tadi terkilir tambah perih oleh sebab jatuh barusan.
Setelah merasa cukup bisa menguasai diri, Merlian mencoba melanjutkan pencarian bantuan. Langkahnya gontai dan berat.
Sadar akan bahaya, Merlian segera mengambil tongkat dari akar pohon kering. Pada saat itulah Merlian sontak kaget. Dia menemukan jasad pria tanpa busana terhimpit batu besar. Setelah berpikir sebentar, Merlian sadar bahwa lelaki itu adalah salah satu peserta lain dari kompetisi maut ini.
“Aku harus pergi dari sini,” ujarnya kebingungan.
Baru saja menyebutkan kalimat itu pada dirinya sendiri, Merlian semakin ngeri begitu kakinya menginjak tubuh perempuan tidak berbusana yang kepalanya pecah oleh benda tidak diketahui.