Sabtu, 17 September.
Guesthouse Halimun.
“Teh, bukankah itu gapura menuju penginapan?” Eneng Siti bersorak girang.
Celana trainingnya kembali melorot. Eneng Siti melipat-lipat celana training itu hingga sebatas lutut.
Merlian menengok arloji. Pukul 18.30 malam.
“Syukurlah, sekarang kita bisa minta bantuan.”
Kini, mereka tidak usah lagi melangkah dengan merayap. Lampu-lampu di sekitar jalan menuju penginapan cukup terang dan banyak.
Merlian menyuruh Siti untuk menunggu sebentar. Dia memilih masuk duluan ke ruang resepsionis. Setelah keadaan aman, Merlian menyuruh Siti untuk ikut masuk.
Televisi masih menyala di lobi. Saluran parabola disetel dengan channel film kartun.
“Hei, tidak ada orang di sini.” Heran Merlian pada Eneng.
“Iya teh. Pada ke mana semua orang.”
“Kita ke kamar teman-teman. Mungkin ada di antara mereka yang sudah sampai duluan dan selamat.” Merlian menjawab penuh harapan, walau dengan keraguan yang besar pula.
Guesthouse seluas 200 meter persegi itu, memanjang ke belakang. Kamar-kamar berjejer membentuk huruf U dengan taman air mancur di tengah-tengahnya. Merlian masih ingat kebagian kamar nomor 4 dari sebelah kiri. Dan memang para peserta perempuan diberikan kamar berjejer sebelah kiri. Sedangkan, peserta laki-laki di sebelah kanan atau berhadapan langsung dengan kamar para perempuan.
“Kita ke kamar laki-laki dulu. Mudah-mudahan ada orang.” Seru Merlian cepat. Kembali, deru nafas mereka beralih cepat. Jantung mereka berdentuman tiada henti.
Eneng mengikuti langkah cepat Merlian dari belakang. Tanpa mengetuk pintu, Merlian langsung masuk ke kamar Ujang Nurdin yang kebetulan berada paling dekat dengan lobi hotel.
“Kau ingat siapa nama pria yang tidur di kamar ini?”
Eneng menggeleng.