Eneng menyuruh Merlian menunduk. Parang berlumuran darah itu dilempar dengan keras. Benda berbentuk bulan sabit itu melayang di atas kepala kedua wanita yang terjebak di guesthouse.
“Prang…,” benda itu mengenai layar LCD televisi. Listrik sempat turun daya, sampai akhirnya televisi yang pecah itu meledak.
“Duar…”
Ledakan itu cukup untuk membakar sebagian ruangan lobi. Apalagi percikan-percikan api merambat melalui tirai dan sofa sehingga api berkobar dengan masif.
Perlahan tapi pasti, api yang menjalar melahap segala barang yang ada di lobi. Tidak terkecuali mobil APV yang ditawarkan menjadi hadiah utama perlombaan misterius ini.
“Cepat lari,” teriak Eneng Siti.
Pakaian mereka terperciki api. Sebagian lengan kanan Eneng terbakar. Merlian pun begitu. Celana bahannya terbakar hingga melukai betis dan dampal kakinya yang tidak beralas kaki.
Wartawati itu menghabiskan hampir separuh dayanya untuk berdiri. Di antara kobaran api, dia berlari terpincang. Sesaat, dia menjadi lupa akan keberadaan Eneng Siti yang masih tertinggal di dalam lobi.
“Aaaaah,” lengkingan suara wanita memecah bara api. Suara Eneng Siti lebih terdengar ucapan kematian, daripada teriakan minta ampun.
Merlian menoleh sejenak ke arah bangunan yang terbakar. Tidak ada waktu lagi untuk menolong Eneng Siti, pikirnya.
Aku harus tetap hidup.
Mau tidak mau, Merlian harus menggusur kaki sebelah kirinya yang terkilir di gunung tadi. Juga, rasa sakit karena lubang luka pada dampal kaki ditambah kerikil yang menusuk karena tak beralas kaki semakin membuat rasa sakit langsung menghujam otak.
Bagaimana pun, Merlian harus terus maju ke depan. Gerbang guesthouse sekitar 40 meteran. Jika tidak salah ingat, jarak dari gapura guesthouse sampai titik keramaian sekitar setengah kilometeran.
Dengan susah payah dan terpincang-pincang, Merlian pun sudah sampai ke depan gapura guesthouse. Neon kecil yang menggantung di gapura membiaskan sosok lelah Merlian yang menahan sakit di tiang gapura.
Sejenak, Merlian sempat menoleh ke arah guesthouse. Bangunan tua penginapan itu semakin memerah karena api yang membesar. Tidak terdengar lagi jeritan sekarat siapa pun dari sana. Mungkinkah semua mimpi buruk ini telah selesai?
Merlian ingin menangis. Air matanya hendak mendesak keluar. Tetapi jika itu dilakukannya, maka tubuhnya akan semakin melemah. Dan dia tahu, mimpi buruk itu tidak akan selesai, sebelum ia membawa tubuhnya keluar dari tempat terkutuk ini.
“Sreet,” baru saja akan melangkah kembali meninggalkan gapura itu, sebuah pecahan botol susu terinjak hingga menyobek dampal kakinya, sehingga membuat darah segar menghambur dari luka yang menganga.