Malam minggu di pertengahan September. Seharusnya besok Merlian mengajukan cuti istirahat untuk melepaskan segala kepenatan dalam hidupnya. Seharusnya Minggu besok, Dodi menjemputnya untuk berkencan atau mungkin bikin kejutan lamaran, setelah lama tidak bertemu. Seharusnya itu bukan andaikata semata. Seharusnya, ini semua terjadi, eh bukan seharusnya ini semua tidak terjadi.
Sungguh pun itu terjadi, lusa akan menjadi hari menakjubkan bagi Merlian. Namanya akan terpampang sebagai satu-satunya korban selamat dari pembunuhan berantai di kawasan Gunung Gede Selabintana. Dan, ia adalah pembuat berita terpopuler sepanjang masa, pastinya.
Yang kuinginkan setelah ini adalah libur panjang. Keluhnya dengan hati yang teriris dan isak yang hampa.
Kengerian pun usai, begitu Merlian melihat secercah cahaya remang dari pos ojek di depan. Hampir setengah jam dari separuh hidupnya, Merlian berjalan berat dari guesthouse terkutuk menuju tempat keramaian.
Ada dua buah warung remang-remang dan beberapa ojek yang jaga malam. Beberapa di antaranya bercengkarama dengan kartu-kartu domino di kedua tangan mereka. Merlian pun menyapa dan meminta tolong dengan histeris.
Seluruh jiwa yang hadir di tempat itu kontan kaget. Seorang wanita tak beralas kaki penuh dengan lumuran darah berdiri begitu saja di depan mereka. Hampir semua orang berpikiran sesat. Kebanyakan mereka dicengkram ketakutan yang mendadak.
Tiba-tiba, seorang tukang ojek yang duduk di ujung warung menawarkan diri mengantarkan Merlian ke kantor polisi terdekat.
“Sama saya saja, Neng.” Tawarnya dengan tangan kanan yang disampirkan ke belakang punggung. Sekilas, Merlian melihat tangan pria itu dibalut kain kasa putih.
Seolah dihipnotis, seluruh rekan si pengojek, pun penjaga warung hanya bisa diam tidak mau ambil risiko.
Waktu sudah hampir tengah malam. Akhirnya, Merlian ikut bersama sopir ojek konvensional yang menawarkan diri itu. Dengan rasa kalut yang mendalam, Merlian tidak bisa mengungkap lagi apa yang telah dia alami seharian itu.
Beberapa menit berselang, sang sopir ojek menawarkan sebuah minuman agar Merlian tenang.
“Jarak ke kota cukup jauh, Teh. Pos polisi apalagi. Ini saya ada minum. Teguklah sedikit.” Sopir ojek itu masih muda. Dugaan Merlian, usianya belum genap dua puluh tahunan. Akan tetapi, kenapa di sepanjang perjalanan Merlian merasakan ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
“Makasih, Kang.”
Merlian menerima botol minum itu. Tak dinyana, pikiran Merlian langsung berputar 180 derajat. Botol itu berisi susu. Botol itu bentuknya . . . sama.
“Kenapa Teh? Kaget ya?”
Dengan panik, wartawati itu loncat dari boncengan motor yang dinaikinya. Dia seperti baru saja melihat kengerian luar biasa di awal mimpi. Badannya terlempar sejauh tiga meter ke sisi jalan aspal. Terdengar suara krek patah tulang pinggang saat tubuh kecilnya terguling hingga menghantam batu seukuran buah jambu. Gadis itu benar-benar tidak berarti.
“Kau, siapa kau sebenarnya!”
Motor itu dipaksa mengerem tiba-tiba. Sosok gelap yang mengemudikan motor itu meloncat segera. Motornya tumbang disia-siakan.
Dengan susah payah, Merlian beringsut menggeser badannya untuk melarikan diri. Luka berat yang dideritanya seolah tirani yang menekannya. Sesak. Inikah rasanya sekarat. Tiba-tiba, dalam sisa-sisa pikirnya yang masih menyala dalam gelap, Merlian mengajukkan pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh jiwa-jiwa yang akan kehilangan nyawa.
“Kenapa harus aku yang mati? Kenapa kau.. bukan kenapa kalian membunuh kami?” Teriak Merlian dengan ayunan lemah tangannya hendak memukul ke arah wajah. Helm yang dikenakan peneror itu terkuak dan terbuka.
“Karena aku dan kau, sama,” wajah pria itu terpapar lampu motor. “Kalian semua serakah, bengis, dan penuh nafsu. Kalian semua membuatku jijik.”