17 September lima tahun lalu
Darah dalam Sebungkus Susu
Sebuah Ficer karya Merliani Safitri – Koran Sukabumi Pagi
Cahaya fajar belum jernih benar menerangi Bukit Selabintana. Een sudah terjaga, sejak jam sahur. Mukanya berseri. Kedua anaknya masih lelap dengan damai di kamar tidur. Enggan mengganggu kenyamanan tidur anak-anaknya, Een segera bangkit untuk memulai kehidupan dengan ikhlas hati.
Seusai menanak nasi dan menggorengkan lauk asin bekas kemarin sore, Een pergi ke belakang rumah untuk memerah susu. Sejak Suaminya meninggal dulu, tidak ada lagi yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, selain dirinya sendiri. Suaminya hanya mewariskan dua ekor sapi yang berjodoh untuk mereka. Een tidak bisa mengandalkan anak sulungnya yang tuna rungu dan wicara. Begitupun Endih, anak keduanya, usianya masih terlalu muda untuk mencari nafkah.
Matahari sudah mulai merekah, waktunya Een untuk berkeliling desa menebar senyum dan menjual hasil jerih payahnya dari memeras susu sapi tadi subuh. Kebetulan, hari ini anak sulungnya ingin ikut. Asep memang tidak disekolahkan karena tidak adanya Sekolah Luar Biasa di daerah itu. Adapun SLB terdekat adanya di kota, dan Een tidak sanggup untuk membayar biaya kebutuhan sekolah anak sulungnya. Adapun, yang menjadi tumpuannya adalah Endih, anak bungsunya. Kini, Endih sekolah di SMP kelas III. Sebentar lagi dia akan lulus SMP, dan Endih berencana akan bekerja di sebuah pabrik kue mochi di kota untuk membantu kebutuhan hidup sang ibu dan kakak tercintanya.