Viena enggan untuk bangkit dari ranjang, meski cahaya di pagi hari menyapa dari arah jendela. Masalah kemarin sudah cukup untuk membuat Viena kesulitan tidur. Kini kepalanya menjadi senut. Dia memegang dan memijat pelan area kepala yang terasa tidak begitu nyaman baginya. Aktivitasnya mendadak terhenti, begitu mendengar suara pintu kamar terbuka.
Brody tengah berdiri di depan pintu kamar. Dia datang dengan membawa sebuah nampan dalam tangannya. Terlihat ada makanan berupa dua lapis roti dengan balutan selai coklat dengan beberapa buah anggur di sekitar dan segelas susu putih dingin. Brody menaruh hidangan di atas meja sekitar, kemudian mendorong meja tersebut mendekat ke tepi ranjang di mana Viena berada.
Viena hanya diam dan menatap dengan datar makanan di depannya. Dalam hati dia takut diracuni oleh Brody. Brody yang melihat Viena pun berinisiatif mencicipi satu anggur sebagai bukti bahwa makanan yang dibawanya itu aman. Dia melirik ke arah Viena sekilas, lalu dia berlalu pergi begitu saja dari kamar Viena.
Sebenarnya sedikit kurang lebih Brody merasa agak bersalah mengenai kejadian semalam, maka dari itu dia sengaja bangun lebih awal untuk membawakan Viena sedikit makanan dan minuman sebagai bentuk permintaan maaf tanpa kata. Akan tetapi, setelah Brody pikir-pikir, kenapa dia perlu repot-repot memikirkan sesuatu untuk Viena? Maka dari itu, dia memilih untuk pergi.
Viena sebenarnya enggan untuk memakan hidangan di depannya, tapi pada akhirnya dia terpaksa menghabiskannya. Demi agar dapat bertahan hidup, menurutnya lebih baik menerima nasibnya terlebih dulu. Viena mengunyah sembari berpikir cara mencari kesempatan agar dapat keluar dari tempat ini secepatnya.
Kala itu di rumah Viena kedatangan tamu. Pertama kali Viena melihat teman yang sebaya dengan kakak lelaki satu-satunya mampir ke rumah mereka. Sosok yang menjulang tinggi melebihi Chiko, dengan proporsi tubuh pas sedang berdiri di samping Chiko. Tiba-tiba dia berjalan mendekat ke tempat Viena. Mendatangi Viena yang baru keluar dari kamar.
Dia berhenti di depan Viena, kemudian mengeluarkan coklat dari dalam tas dan memberikan ke Viena. "Ini buatmu," dihiasi dengan senyuman singkat, dia kembali berkata, "kata Chiko, kamu suka makan yang manis-manis. Salam kenal, ya ... kenalin, namaku Brody. Sahabat kakakmu."
Viena jadi bingung dibuatnya, tapi secara refleks tangan Viena malah menerima coklat darinya. Chiko lantas menghampiri mereka dan langsung menyeret Brody masuk ke dalam kamarnya. Sebelum itu Chiko sempat berkata, "Abaikan saja dia."
Viena saat itu baru berusia dua belas tahun, sedangkan Chiko dan Brody sudah berusia tujuh belas tahun. Di mana kala itu mereka masih anak sekolahan yang hanya tahu belajar dan bermain.
Beberapa kali pertemuan Viena dengan Brody hanya sepintas, namun Viena dapat merasakan kehangatan dari Brody. Kasih sayang yang belum pernah dia dapatkan, selain dari kakaknya. Akan tetapi, sekarang yang Viena lihat dan rasakan benar-benar sangat berbanding terbalik. Brody yang sekarang seperti orang yang berbeda. Viena berpikir mungkin inilah Brody yang asli. Viena jadi membencinya.
Baru-baru ini Bram, selaku ayah dari Chiko dan Viena baru pulang dari dinas. Kebetulan Chiko sedang tidak ada di rumah. Mulanya Viena berpikir Chiko pulang lebih awal dan lupa membawa kunci, maka dari itu Viena bersemangat untuk pergi membuka pintu. Begitu sosok paruh baya yang muncul, Viena langsung mundur ke belakang. Sayangnya Bram sudah terlebih dulu bertindak, sebelum Viena bermaksud menutup pintu dan mengunci diri.