Tubuh Viena tersentak. Dia langsung terbangun dengan kedua mata terbuka lebar dan detak jantung yang berdebar. Ditambah dengan keringat turun membasahi pelipis dan turun sampai ke area sekitar wajahnya. Pakaiannya menjadi basah, akibat dari keringat yang keluar selama dia mendapatkan mimpi buruk.
Viena menepuk pelan dadanya dengan tangan kanan, guna menenangkan diri agar detak jantungnya dapat normal kembali. Sesekali matanya melirik ke sekitar. Dia akhirnya sadar kalau memang kejadian yang tadi hanya sekedar mimpi belaka, tapi rasa takut dalam mimpinya terasa sampai ke dunia nyata.
Viena mengedarkan pandangannya, kemudian berhenti di satu tempat. Dia beranjak dari ranjang dan berjalan menuju ke dekat jendela. Dia menarik gorden jendela ke samping, hingga sinar cahaya di pagi hari menyinari seluruh ruangan kamar.
Suara kicauan burung terdengar di telinga Viena. Suasana di luar terlihat cerah dan segar. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dari pikiran Viena, berkat dari mimpi buruk yang dialaminya.
'Kenapa aku tidak kepikiran sama sekali?' pikir Viena.
Viena berjalan menuju ke arah pintu kamar, kemudian dengan pelan dia memutar knop pintu dan menarik pelan sampai pintunya terbuka cukup lebar. Dia mengintip ke arah luar dan melihat tidak ada seorang pun di luar sana. Dia perlahan keluar dengan cara mengendap-ngendap. Tidak lupa dia kembali menutup pintu kamar dengan cara yang sama.
Dengan langkah pelan Viena berjalan melewati ruang tamu. Sepasang matanya turut melihat-lihat ke segala arah. Diyakini sudah merasa aman, barulah Viena mulai berjalan menuju ke pintu utama. Dia mencoba menarik pintu kayu yang berukuran besar dan menjulang tinggi, tapi sayangnya pintunya terkunci.
Viena menghela napas. Dengan wajah masam dia kembali ke dalam kamarnya. Selama berada di dalam kamar, dia masih berpikir bagaimana cara agar dia dapat keluar dari vila ini.
Tiba-tiba Viena memiliki ide baru. Dia mencoba kembali berjalan keluar dari kamar dan melihat keadaan sekitar, tapi sayangnya Mari sudah bangun dan sedang memasak di dapur. Viena hanya dapat mengurungkan niatnya dan kembali ke dalam kamarnya.
Entah sudah berapa jam Viena menghabiskan waktu hanya di dalam kamar. Mari beberapa kali bolak-balik hanya untuk mengantarkan makanan dan minuman, dan kemudian kembali hanya untuk membawa pergi nampan yang di atasnya berisi piring, mangkuk, dan gelas kotor bekas Viena.
Viena melihat di luar jendela sudah mulai gelap. Dia menunggu sebentar lagi, sebelum akhirnya dia kembali mencoba keluar dari kamarnya dan pergi melihat-lihat ke luar. Mari sudah tidak ada di area sekitar yang sekiranya akan terlewati olehnya. Dengan cepat dia berjalan menuju ke pintu yang sedari tadi terlintas dalam benaknya.
Dengan pelan Viena memutar knop pintu. Dia terkejut begitu mengetahui pintu kamar di depannya tidak terkunci. Sebelum membuka pintunya, dia sempat berbalik dan melihat ke sekitar. Perasaan lega menguasai dirinya, lantaran tidak melihat sosok Mari. Tanpa keraguan dia mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam.