Viena sudah siuman. Dia melihat sosok Brody sedang menatap wajahnya. Viena kembali menutup kedua matanya dengan begitu rapat.
"Buka matamu."
Suara tegas lebih terdengar seperti perintah membuat Viena otomatis membuka kedua matanya. Brody menampilkan raut wajah datar di depan Viena, sehingga Viena hanya dapat membeku di tempat dengan bibir yang terkatup rapat.
Viena berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tidak terlihat begitu ketakutan di depan Brody yang sekarang terlihat seakan sedang mengintimidasi dan menilai dirinya, menurut dari penilaian mata Viena.
"Gimana perasaanmu? Sudah baikan?"
Viena mengedipkan matanya beberapa kali beriringan dengan bibirnya yang sedikit terbuka. Dia melongo mendengar pertanyaan dari Brody. Tadinya dia sampai mengira Brody sudah berniat mengancam atau membunuhnya.
"Yang bermasalah bukan mulutmu, kan?"
Viena langsung menggeleng cepat.
"Sudah membaik," balas Viena pelan.
Brody mendekati Viena, kemudian memajukan wajahnya sampai jarak di antara mereka menjadi begitu dekat. Brody meneliti raut wajah Viena. Wajahnya terlihat begitu gugup. Tangan kanan Brody memegang kepala Viena.
"Bagian mana yang sakit?"
Suaranya terdengar lembut di telinga Viena. Viena sempat takjub sesaat, hingga dia menjadi terbata saat menjawab pertanyaan Brody. "Ke-kepala."
Setelah mendengar jawaban dari Viena, Brody lantas bergerak mundur dan berjalan pergi meninggalkan Viena sendirian di dalam kamar.
Viena yang melihat sosok Brody menghilang di balik pintu hanya bisa menatap dengan tatapan bingung.
Tidak butuh waktu lama, Brody sudah kembali dengan membawa obat dan air hangat di tangannya. Dia secara langsung memberikan ke Viena.
Viena melihat wajah Brody sekilas, sebelum akhirnya dia memakan obat dan menelannya dengan beberapa tegukan air putih dari gelas yang Brody genggam.