Di seberang sana terpampang jelas raut wajah Chiko yang begitu gusar. Bagian atas bibir, bagian dagu, dan sekitarnya sudah ditumbuhi dengan kumis tipis-tipis. Bagian rambut Chiko sudah mulai memanjang dan lepek. Ditambah dengan pakaian yang dikenakannya tampak kusam dan kusut seperti belum mandi selama beberapa hari. Padahal sebelum kejadian Viena menghilang, Chiko adalah sosok yang paling menjaga kebersihan dan mengutamakan penampilan.
Chiko terus berada di jalanan untuk membagikan setumpuk kertas yang isinya sama semua ke orang-orang yang lewat di sekitarnya. Di mana foto Viena tercetak secara jelas dan besarnya hampir memenuhi seluruh isi dalam kertas dengan tulisan besar di bagian atas 'DICARI ORANG HILANG' dan di bagian bawah tertera 'Bagi yang menemukan akan diberikan imbalan yang memuaskan dan dapat menghubungi nomor +62XXXXXXXXXXX kapan pun Anda menemukan keberadaannya' dengan cetakan kertas berwarna hitam putih.
Chiko begitu frustasi, tapi dia terus berusaha sebaik mungkin untuk menemukan keberadaan adik tersayangnya. Dia mau saja berperang dengan suhu udara panas di luar ruangan sambil membagikan setumpuk kertas di hari liburnya, meski tidak semua orang yang lewat mau mengambil kertas yang sudah dia cetak dengan segenap hati.
Setiap pulang kerja, Chiko selalu menghabiskan waktu untuk mencari ke tempat-tempat yang biasa sering dijejaki oleh dirinya dan Viena. Berharap suatu hari Viena akan muncul di salah satu tempat yang dituju, tapi sampai sekarang Viena belum menampakkan diri.
Kertas yang sudah Chiko bagikan ke luar sudah hampir habis dan hanya menyisakan beberapa lembar. Chiko pergi beristirahat di salah satu warung yang ada di dekat sana. Dia memesan secangkir kopi dan meminumnya dengan cepat sampai habis tidak bersisa.
Rasa haus dan lelah, disertai dengan keringat yang sudah membasahi seluruh tubuhnya sedari tadi sampai pakaiannya dari basah, kemudian sedikit mengering dan basah kembali yang membuat Chiko memilih untuk berhenti sejenak.
Renungan Chiko membawanya teringat kembali hari di mana dia kehilangan Sinta sekaligus Viena. Malam setelah Chiko mengantar Sinta pulang, dia langsung kembali ke rumahnya. Chiko memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Chiko kemudian keluar dari mobilnya sembari bersenandung melangkah masuk ke dalam rumah.
Chiko melihat sosok Bram sedang berdiri sambil bersedekap. Raut wajah Chiko langsung berubah menjadi dingin.
"Di mana Viena?'
Bram menautkan alisnya. "Kenapa bertanya kepadaku?"
Dapat terlihat raut wajah Chiko kini terlihat panik. Dengan langkah besar dan cepat, Chiko terburu-buru mencari keberadaan Viena. Perasaan Chiko menjadi buruk, begitu melihat sosok Bram berada di dalam rumah.
"Sialan!" maki Chiko, begitu tidak melihat keberadaan Viena di mana pun.
Chiko pergi menemui Bram dan langsung menerjang kerah baju Bram. "Katakan sekarang juga! Di mana Viena sekarang?!"
Bram mencoba menarik jauh tangan Chiko. "Hei! Hei! Apa-apaan ini?! Aku Ayahmu! Lepaskan!"
"Lebih baik kamu tidak kembali!"
Wajah Chiko tampak berang. Emosinya menggebu-gebu. Sorot matanya tampak menyala-nyala. Andai saja di depannya itu bukan ayahnya, maka dia sudah memukulnya sampai babak belur. Chiko sudah menahannya selama ini dan kesabarannya sudah mulai menipis dari waktu ke waktu.
"Aku kembali untuk menemuimu. Apa kamu tidak merindukanku?"