Brody menggendong Chiko bak sedang mengangkat karung–keluar dari kediamannya dan membawa pergi Chiko sejauh mungkin dan membuangnya begitu saja di antara banyaknya pepohonan sawit yang Brody rasa bisa menutupi keberadaan Chiko.
Raut wajah Brody tampak begitu tenang melihat sosok Chiko. Tidak adanya rasa bersalah dalam diri Brody. “Memang sebaiknya kubunuh kau dari awal.” Brody akhiri dengan menyeringai dan berbalik pergi meninggalkan Chiko sendirian.
Brody kembali ke kediamannya dan sempat berpapasan dengan Mari di depan pintu kamarnya. Tatapan mereka berdua saling bertemu. Mari mengangguk sekali ke Brody, lalu dia kembali berjalan pergi ke belakang dengan membawa kain pel dan ember dalam genggaman tangannya.
Brody melangkah masuk ke dalam kamar, setelah sosok Mari tidak terlihat lagi olehnya. Brody dapat melihat bekas darah dari Chiko tadi sudah bersih dan tidak meninggalkan jejak di lantai. Brody berjalan dengan langkah lebar menuju ke tempat di mana Viena tengah terbaring lemah tak berdaya. Sebelum itu, dia sudah berganti pakaian terlebih dulu agar tidak membuat dokter menaruh curiga padanya.
Brody mengecek wajah Viena dengan saksama dan mencoba memegang dahi Viena dengan telapak tangannya. Tidak ada tanda panas di wajah Viena, namun dia belum sadar sampai sekarang.
Butuh waktu beberapa jam untuk dokter tiba di kediaman Brody. Brody sudah mulai tidak sabar menunggu. Brody lantas keluar dari kamar untuk mencari Mari.
"Bu, berapa lama lagi dokter tiba?”
“Sebentar lagi. Dokter sedang dalam perjalanan kemari,” jawab Mari.
Brody membalas dengan sebuah anggukan, kemudian kembali ke dalam kamar untuk menemani Viena. Dia menunggu di sisi Viena, hingga dokter tiba dan langsung mengecek kondisi Viena. Brody secepatnya menggeser tubuhnya menjauh ke belakang dan memantau dari jauh.
Brody menaikkan salah satu alisnya, begitu dokter berpaling dan menatapnya dengan tatapan seakan menyelidik.
"Ada apa?” tanya Brody.
Dokter berdeham, kemudian membuka suara dengan tatapan mata berfokus ke Brody. “Maaf, bila lancang sebelumnya … tapi, diharap untuk tidak membuat pasien terluka dan banyak pikiran.”
"Lalu?” tanya Brody dengan tidak sabaran. “Hanya itu saja? Katakan saja semua yang ingin kamu katakan,” lanjutnya, seakan-akan sudah menyadari ada kata yang tidak dapat dokter ungkap ke dirinya.
"Nona ini tengah mengandung.”
Sepasang mata Brody membelalak. Dia langsung datang menghampiri dokter dan memicingkan matanya. “Coba ulangi sekali lagi.”
Dokter menelan ludahnya dan sepasang matanya tampak begitu ketakutan di depan Brody, namun dia harus tetap bersikap profesional dan harus dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Sang dokter lantas tersenyum singkat, lalu mencoba menerangkan kembali di depan Brody.
“Usia kandungannya masih begitu belia. Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan, saya harap agar pasien tidak mengalami guncangan lagi.”
Brody kemudian mengernyitkan dahi. Dia dapat melihat dokter di depannya berkata jujur. Raut wajah dokter terlihat begitu serius dan ucapannya tidak mungkin asal-asalan. Brody lantas melirik ke tempat di mana Viena berada, lalu kembali melihat ke arah dokter.
"Ada lagi?” tanya Brody.
Dokter menggelengkan kepala. “Tidak ada lagi.”
"Ya, sudah. Kalau begitu kamu kembali saja.”
Dokter mengangguk sekali, kemudian mengemasi barang bawaannya dan keluar dari kamar Brody. Tidak lupa dengan menutup pintu kamar dan sempat menggelengkan kepalanya di luar pintu kamar Brody sembari menghela napas singkat. Sebelum berjalan ke luar dari vila, dia bertemu dengan Mari di depan pintu utama. Mari langsung mendatangi dokter dan dokter kembali menggelengkan kepala di depan Mari.