“Na! Minta tolong kawanmu ini dikondisikan, ah! Dia mah ganggu sukanya!”
Baru selangkah masuk ke kelas, sebuah seruan yang ditujukan padaku menyambut. Aku menuju bangkuku. Asep tampak iseng menarik-narik ujung rambut Euis yang panjang. Gadis itu menahan rambutnya agar tidak tertarik Asep.
“Sep, kamu kalau suka Euis bilang aja mah.” Kataku datar.
Asep tertegun, menghentikan kejahilannya sejenak. “Dih! Kok, gitu, Na?”
“Ih, kalau ada cowok yang suka iseng ke cewek, berarti dia suka sama cewek itu, Sep.” aku menjelaskan seraya meletakkan tas dan notes marunku di meja.
“Darimana teori begitu atuh! Nina mah, asal ngomong!” Asep tidak percaya, tapi ia menjauhkan tangannya dari rambut Euis. Lalu mendorong bahu gadis itu pelan.
“Asep, ih!” Euis berseru kesal.
Dua insan ini, Asep dan Euis, adalah kawan yang paling dekat denganku di kelas. Selama SMP, Asep selalu sekelas denganku. Pertama kali kenal, ketika Asep mengambil pensil kesayanganku tanpa izin, aku membentaknya. Satu kelas yang awalnya ramai mendadak bisu. Itu kali pertama aku tampak marah dan berteriak, tentu saja mereka terkejut setengah mati. Asep yang menjadi penyebabnya bahkan tergagap takut saat berkata maaf. Menurut teman sekelas, wajahku masih tampak kaku dan kesal beberapa hari setelahnya.
Asep yang merasa sangat bersalah, mengikutiku ke manapun aku pergi di penjuru sekolah dan meminta maaf berulang kali pula. Bahkan, lelaki itu sampai menungguku di depan rumah dari pagi-pagi buta, padahal rumahnya jauh dari rumahku. Aa kala itu terkejut melihat ada lelaki bermotor di depan gerbang. Aku tidak mengubrisnya, karena sebenarnya aku sudah memaafkan Asep sejak lama. Hanya masih kesal saja. Aku ingin tertawa jika mengingatnya, Asep bilang wajahku sangat menakutkan kala itu. Semenakutkan itukah? Sejak insiden tersebut, entah mengapa Asep dekat denganku. Terkadang memang jahil, tapi dia lebih menjadi ‘kawan’ bagiku daripada ke gadis-gadis lainnya yang menganggapnya ‘tukang rusuh’ atau ‘pembuat onar’.
“Na, Kang Agan ke Duta Farm, ya?”
Euis bertanya penasaran, memandangku dengan mata berbinar. Duta Farm itu tempat kerja Aa, jaraknya dari rumah lebih dekat dari pada sekolahku. Lokasinya di dekat kaki gunung kecil, di pinggir desa. Bangunannya cukup tinggi, meski tak setinggi hotel, namun sangat luas. Aku selalu melewatinya ketika pulang-pergi sekolah. Bentuk bangunannya seperti Green House yang kulihat di buku paket IPA, tapi sangat besar. Atapnya terbuat dari bahan yang tembus pandang, namun Aa bilang bahwa cahaya matahari yang masuk bisa diatur secara otomatis. Atap yang canggih. Aa bilang kerjanya merawat dan memanen buah serta sayuran. Aku ingin sesekali masuk ke sana, penasaran. Tapi belum terwujud.
Seraya membereskan tumpukan buku sesuai urutan pelajaran di meja, aku menjawab, “Iya, tapi setelah mengantarkan setoran susu ke KBPS kayaknya, Is.”
“Ih, berarti Kang Agan bakal lewat sini, ya?” Euis tiba-tiba bersemangat, menyisir poninya dengan jari.
Aku menghela nafas, menatapnya. “Dia nggak bakal masuk ke sekolah atuh, Euis.”
“Ya tapi, kan, KBPS itu dekat sini, Na? Pasti lewat depan sekolah atuh!” gadis berambut panjang itu masih sibuk dengan poni miringnya.
Aku hanya menggeleng gemas. Ya, Euis menyukai Aa sejak ia kelas sebelas dan Aa kelas dua belas hingga saat ini. Aku tidak tau Aa tau hal ini atau tidak, tapi sejak tau aku adik ‘Kang Agan’, Euis menjadi dekat denganku juga. Menurutku, dia teman yang cukup baik, kok. Setidaknya, Euis tidak memanfaatkanku ketika ujian untuk minta contekan seperti Asep. Padahal Asep lebih pintar dari dia.
Asep tiba-tiba melempar bolpen ke arah Euis, mengenai kepalanya. Ia dan kawan-kawannya di belakang bersorak. Euis bangkit berdiri dengan bolpen lain di tangan, hendak membalas. “ASEP!”
“EUIS!” Asep mencoba meniru suara dan tingkah gadis berambut panjang itu.
Kawan-kawannya makin jadi tertawa, mau tidak mau aku ikut tertawa pelan. Asep dan Euis, meski keduanya dekat denganku, susah sekali disatukan. Kalau bisa pun, paling-paling hanya bertahan dua menit. Setelah itu bertengkar lagi seperti ini. Aku seakan menjadi benang merah penyambung keduanya.
“Dih, Nina, kamu jangan ikut tertawa!” Euis menjawil bahuku.
“Eh, iya-iya maap, Is. Habisnya kalian mah lucu atuh!” ujarku di sela tawa.
Euis manyun, duduk di bangkunya kembali. Kemudian bel masuk berbunyi. Euis semakin kesal karena batal pergi ke gerbang sekolah untuk melihat Kang Agan-nya lewat. Ia berjanji akan membalas Asep nanti. Aku hanya tertawa menanggapi.
Bahasa Indonesia adalah salah satu mata pelajaran yang kusuka. Selain Bu Ening baik dan ramah, cara mengajar beliau yang memakai metode diskusi aktif tidak membosankan. Misalnya materi minggu lalu tentang opini. Beliau mengajak kami berdiskusi, kira-kira dampak positif dan negatif dari menduniakan keindahan gunung dan alam seperti Danau Situ Cukul atau Cileunca di sekitar wilayah kami itu apa saja. Semua bebas memberi pendapat beserta alasan. Terkadang murid laki-laki di kelas asal ngomong saja hingga mengundang tawa dan membuat suasana kelas sedikit ricuh. Tapi Bu Ening tidak mempermasalahkan dan bisa mengatur kondisi kelas agar tenang kembali. Terakhir, beliau mengambil kesimpulan yang membuat kami bisa memandang dampak-dampak tersebut dari sudut padang yang belum pernah kami pikirkan sebelumnya.
Bu Ening juga sangat mendukung hobi menulisku. Beliau sering menanyakan kabar karya-karyaku dan menjadi pembaca setia di akun Kwikku-ku. Beliau juga memberi usul serta pendapat membangun terhadap cerpen yang kubuat. Aku suka Bu Ening. Hari ini, beliau memberi tugas membuat poster peduli lingkungan per kelompok sebagai PR materi slogan, dikumpulkan minggu depan.
“Na, aku sekelompok sama kamu, dong! Plis, Na..”
Asep mulai mengekoriku ke halaman sekolah. Euis yang berjalan di sampingku berhenti dan mengancamnya dengan kepalan tangan.
“Nina mah nggak mau sekelompok sama kamu, Sep! Paling-paling dia kerja sendirian, terus kamu main game.” katanya ketus.
“Dih, memangnya kamu kerja?” Asep mengangkat alis.
“Eh, jangan salah, ya. Kita mah sudah rencana mau kerja di rumah Nina. Iya, kan, Na?” Euis menyikutku.