Gadis muda di depan podium masih menjawab pertanyaan yang di sampaikan oleh salah seorang hadirin.
Kakiku tak berhenti mengetuk-ketuk lantai putih, tak sabar ingin segera bertanya juga. Ini adalah seminar kepenulisan bersama Windi Setyaningrum, nama asli dari penulis muda bernama pena Embun. Aku sangat suka buku-bukunya, best seller dan non-best seller tanpa terkecuali. Cara Teh Windi—beliau menyuruh kami memanggilnya begitu—mengolah alur dan konflik, deskripsi suasana dan latar, semua unsurnya bagus! Aku sering meniru gayanya menulis, seperti cara menggambarkan sesuatu atau mengurai perasaan tokoh. Bisa bertemu dengan beliau seperti ini rasanya sudah seperti mimpi!
Awalnya Aa tiga hari lalu membelikanku buku baru karya Teh Windi yang berjudul Bingkai Sajak Biru. Aku senang karena setting ceritanya di Bandung, aku sudah selesai membacanya sampai tuntas dalam sehari. Dan betapa kagetnya aku ketika mendapatkan dua tiket terselip di halaman paling belakang. Tiket seminar kepenulisan bersama Embun! Aku sempat menjerit histeris tak percaya melihatnya, Aa sampai kupeluk-peluk saking bahagianya. Jadi hari ini, aku datang mengajak Euis karena tiketnya ada dua dan Aa tidak bisa ikut. Ia masih ada janji temu dengan seseorang perihal kasus Abah, ditemani Regit. Setelah Abah dibawa polisi sehari setelah tuduhan jatuh, Aa dan Regit tak henti mencari informasi ke sana ke mari, mengumpulkan bukti. Aku sebenarnya ingin ikut andil, tapi Aa melarangku dan menyuruhku berdo’a saja.
“Na, kakimu, ah!” Euis berbisik gemas. “Sabar atuh, tetehnya masih bicara, tuh.”
“Ih, habisnya aku angkat tangan dari tadi nggak ditunjuk-tunjuk sama si akang moderator, Is!” ujarku kesal.
“Yang mau nanya bukan cuma kamu atuh, Na. Segedung! Coba kamu lompat-lompat, Na. Mungkin akang moderatornya nggak lihat kamu tadi.”
Ketika sesi pertanyaan dibuka lagi, aku menuruti saran Euis, mengangkat tangan dan melompat-lompat di tempat. Peserta seminar di sekitarku memandang aneh, tapi aku tak peduli. Siapa tau dengan begini aku bisa terpilih bertanya.
“Baik, ibu yang diujung dengan bayi. Bisa maju ke depan? Mohon yang lain memberi jalan.” Akang moderator menunjuk sudut ruangan.
“Ah! Sebal, ih!” seruku ketus, menghempaskan diri ke kursi hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.
Beberapa pasang mata menatapku, merasa terganggu. Aku menunduk, Euis malah tertawa. Barusan itu kesempatan terakhir bertanya, aku tidak bisa berbuat banyak.
Usai acara inti, untungnya Teh Windi berimprovisasi meminta tambahan waktu untuk sesi tanda tangan. Demi mendengarnya, setelah salam penutup diucap, aku berlari menelusup di antara keramaian menuju tangga podium untuk mendapat giliran awal. Euis tidak mau ikut mengantri, ia masih duduk di kursi. Syukurlah, Teh Windi hanya menerima tanda tangan di buku novel miliknya saja sehingga sebagian besar peserta yang tidak membawa masih harus membelinya di stand kecil-kecilan yang sengaja menjual novel karya Embun di depan gedung.
Aku sebenarnya sempat terheran mengapa seorang penulis terkenal seperti Teh Windi mau mengisi seminar di desa kecil Margamulya Pangalengan di sebuah Gedung Sabilulungan Margamulya yang tidak sebesar Gedung Seni Sabilulungan di ibu kota. Hanya gedung pertemuan kecil berdinding biru-kuning kusam dan lantai putih dengan podium sederhana yang panjangnya tidak sampai 10 meter. Bahkan kursi para peserta tidak berbantal empuk, hanya kursi plastik merah kecoklatan dengan pilox “Margamulya” di belakangnya. Beratap seng dan berlampu pijar biasa, tanpa AC dan lampu sorot mahal.
Tapi aku tidak boleh bertanya hal itu sekarang. Embun akan cepat menandatangani novel dan aku tidak mungkin bertanya banyak. Satu hal singkat saja belum tentu ia jawab, atau pria bodyguard di belakang beliau akan menegur dan menyuruhku untuk turun podium. Aku harus berpikir cepat hal penting yang ingin kutanyakan. Harus hal penting.
Satu orang lagi, dan aku akan menginjak tangga menuju podium. Rasanya lututku gemetar. Kulihat Euis masih asyik dengan ponselnya, mungkin bermain game atau membalas chat di medsos-nya.
“Selanjutnya, Adek.” Pria bodyguard berseru.
Gadis remaja di atas podium masih enggan turun, memaksa Teh Windi berbicara lebih banyak. Hingga akhirnya si Bodyguard menarik lengannya dan menyeretnya turun. Aku berlari kecil menaiki tangga, setidaknya aku punya lebih sedikit waktu sebelum pria itu kembali.
Embun tersenyum padaku ketika aku berjalan mendekat ke arahnya hingga duduk di hadapannya. Beliau tampak lebih dengan kerudung merah mudanya jika dilihat dari dekat. Aku mengulurkan novelku yang baru selesai kubaca kemarin, pemberian Aa, untuk ditandatangani. Aduh, aku belum terpikirkan hal penting apa yang harus kutanyakan pada Teteh!
“Jadi, tadi Adek mau tanya apa? Tadi sempat angkat tangan, kan?” tanya Teh Windi seraya membuka tutup spidol.
Aku tergagap. “Eh, Ng.. apa, ya? Saya jadi lupa, Teh. Habisnya Akang moderator mah, nggak langsung nunjuk saya tadi. Memang Teh Windi lihat saya?”
“Iya. Yang lompat-lompat sampai hampir jatuh, kan?” Teh Windi tertawa kecil, membuat wajahku memerah malu. Yah, tapi setidaknya dengan begitu si Teteh jadi ingat padaku. Tak apalah.
“Teteh kenapa mau isi seminar di sini, Teh? Kan, Margamulya ini termasuk desa kecil. Kenapa nggak di kota saja?” akhirnya pertanyaan tadi yang keluar dari mulutku.
Seraya membubuhkan tanda tangan di halaman depan, Teh Windi menjawab, “Sudah banyak penulis yang lebih hebat mengadakan seminar-seminar di sana. Kalau semua penulis besar memperhatikan orang di kota saja, bagaimana penulis kecil berbakat yang ada di desa?”
Mendengar jawaban Teh Windi, aku tersenyum. Benar-benar seperti embun yang menyejukkan pagi, Embun ini juga menyejukkan hati orang-orang di sekitarnya. Tidak salah aku mengaguminya.
“Oya, dengan Adek siapa? Biar Teteh tulis namanya.” Kata Teteh usai menandatangani.
“Nina, Teh. Nina Karlina.” Aku menjawab cepat.
Teh Windi menulis sepatah dua patah kata lagi di bawah tanda tangannya. “Sebenarnya dulu Teteh pernah sekolah di sini. Guru menulis pertama Teteh tinggal di daerah sini, namanya Bu Ening. Tapi Teteh nggak tau kabarnya lagi setelah pindah ke Jogja, meskipun ponsel canggih sudah di mana-mana.”