Di akhir pelajaran, Bu Ening menyuruh kami mengumpulkan tugas kelompok minggu lalu ke depan. Euis yang mengumpulkan poster kelompok. Setelah memilah-milih, Bu Ening memutuskan poster terbaik diraih oleh Euis, aku, Asep, dan Deden. Asep meloncat gembira di kursinya.
“Ada hadiahnya, Bu?” Asep bersemangat bertanya.
“Ibu akan menyuruh ketua OSIS menempelnya di mading sekolah.” jawab Bu Ening dengan senyum.
Kami sekelas tertawa, Asep manyun kecewa. Bu Ening tersenyum simpul.
“Nanti Ibu masukkan sebagai nilai tambahan, Sep.” kata Bu Ening lagi, kemudian menatapku. “Nina, nanti istirahat ke kantor saya. Dan ketua kelas, minta tolong bantu Ibu membawa poster-poster ini ke kantor, ya.”
Ketua kelas kami maju ke depan dan membantu Bu Ening membawa hasil poster kami. Aku bertanya-tanya, apa hal yang ingin beliau bicarakan denganku? Kulihat Asep masih kecewa karena hadiahnya hanya nilai tambah, nilai Bahasa Indonesianya memang selalu bagus. Euis malah senang karena nilainya selalu di bawah rata-rata hampir di semua mata pelajaran.
“Poster kalian itu, siapa yang gambar euy?” salah seorang gadis bertanya pada kami.
Euis menunjukku. “Si Nina. Dia teh, pintar menggambar! Jago!”
“Biasa aja, ah.” kataku mengelak.
Aku dari kecil memang suka menggambar, tapi sejak masuk SMA ini aku memutuskan untuk fokus di bidang tulis-menulis saja. Meski banyak yang bilang bakatku sayang jika disia-siakan, aku tetap bersikukuh.
“Bagus, loh, Na.” kata gadis di depanku. “Mau ikut klub mading nggak? Nanti kubilang ke ketuaku.”
Aku tau dia memang anggota mading sekolah. Banyak murid yang pandai menulis dan kreatif berkarya merupakan anggota klub. Klub mading punya sebuah kotak yang diperuntukkan bagi siswa-siswi yang ingin menyumbangkan karyanya ke mading sekolah, namanya kotak kuning. Juga boleh lewat anggota mading langsung. Ada yang mengumpulkan jadinya, ada yang mengumpulkan mentahnya. Nanti oleh anggota mading akan ditulis ulang dan dihias. Sebenarnya aku sering memasukkan karyaku ke kotak kuning. Terkadang cerpen satu halaman, kata-kata motivasi, jarang-jarang puisi. Aku tidak terlalu pandai berpuisi. Tapi mungkin gadis ini tidak tau, karena aku selalu memakai nama samaran.
Aku menggeleng. “Makasih tawarannya.”
“Kamu mah gitu, Na. Sekali-sekali ikut kegiatan atuh, jangan datar-datar aja yang penting lulus!” Euis berkata. “Pengalaman, Na.”
Kemudian guru pelajaran selanjutnya masuk ke dalam kelas. Anak-anak cowok yang ribut main sepak bola di kelas sontak duduk. Termasuk Asep yang tersandung kursi meja hingga nyaris jatuh. Beberapa kawan menertawakannya.
Istirahat sekolah, aku segera menuju kantor untuk menemui Bu Ening membawa notes marunku yang biasa. Kantor guru tidak besar, namun memanjang ke samping. Meja-meja ditata sesuai urutan wali kelas. Paling dekat pintu adalah meja Pak Rijal, guru Bahasa Inggris kelas dua belas yang umurnya mendekati kepala lima sekaligus bagian keguruan. Aku bersyukur karena sekolah sepertinya memiliki prinsip bahwa guru adalah pendidik murid, serta menjadi teman mereka. Guru-guru di sini kebanyakan baik dan ramah pada kami, meski beberapa juga ada yang killer. Walau begitu, disiplin juga tegas ditegakkan. Menurutku prinsip guru adalah teman murid itu cukup bagus. Anak-anak bisa terbuka pada gurunya dan merasakan orang tua kedua yag sebenarnya di sekolah. Buktinya, pelanggaran murid di sekolah dominan rendah.
Di depan pintu kantor, aku mengucap salam. Pak Rijal menoleh, menurunkan kacamatanya setelah menjawab salam. “Siapa?”
Meski sering ke mari, aku masih sedikit takut dan canggung dengan guru Bahasa Inggris ini. Aku tergagap, “Nina, Pak. Kelas XII IPA-1.”
“Maksudnya mau cari siapa atuh, Neng.” kata Pak Rijal berdeham.
“Ah, Nina, ya? Masuk sini!”
Untungnya Bu Ening melihatku, beliau melambaikan tangan menyuruhku masuk. Segera aku berlari kecil ke arah meja beliau setelah menunduk permisi pada Pak Rijal. Kulihat beberapa siswa juga tengah berbincang dengan guru-guru lain di dalam sini. Bu Ening menyuruhku duduk.
“Nina kenapa nggak upload bab barunya novel Senja yang Biru? Ibu nungguin, loh. Kamu janji tiap selasa, kan, upload di Kwikku?” Bu Ening bertanya tanpa basa-basi.
“Sudah jadi, kok, Bu. Tinggal ketik, lalu upload. Maaf, ya, Bu.” Aku menunjukkan notes marun di tangan, menyegir.
Bu Ening terdiam menatapku. “Masih belum selesai masalah abahmu?”
“Aa usahakan hari ini semua bukti terkumpul. Nanti tinggal dilaporkan ke kepolisian, saya harap tidak perlu persidangan.” jelasku berusaha tampak biasa saja. Aku tidak ingin membahas ini dengan Bu Ening, lalu aku teringat sesuatu. “Oya, Ibu kenal Teh Windi? Windi Setyaningrum? Katanya anak didik Ibu dulu.”
“Windi? Iya, itu murid lama sekali atuh, Na. Cuma setahun, lalu dia pindah sekolah. Kok, kamu tau? Pernah ketemu?” Bu Ening bertanya balik.
“Teh Windi penulis besar, Bu! Kemarin saya ikut seminarnya, Teteh bilang kalau dulu Ibu juga guru menulisnya. Teh Windi titip salam cinta katanya.” Aku membentuk hati dengan tangan.
Bu Ening tertawa. Wajahnya yang ayu dibingkai kerudung putih, memerah karenanya.
“Permisi, Bu Ening?”
Aku dan Bu Ening menoleh. Seorang lelaki tinggi yang tak kukenal berdiri di belakangku. Dari wajah dan postur tubuh, sepertinya dia anak SMA. Tapi bukan murid sekolah ini, karena aku tak pernah melihat wajahnya dan dia tidak memakai seragam yang sama, melainkan batik. Perawakannya rapi dan dewasa. Demi sopan santun, aku berdiri ke samping agar tidak membelakanginya.
“Ah, hari ini jadi mau isi formulir? Sudah cocok?” Bu Ening tersenyum padanya.
Lelaki itu mengangguk. “Iya, Bu.”
“Kalau begitu, ayo duduk.” Bu Ening kemudian menatapku. “Yasudah, Na. Kamu tetap semangat, ya. Pastikan hari ini upload, oke? Ibu tunggu! Oya, ini murid baru, nanti Ibu masukkan ke kelas kamu.”
Aku dan lelaki batik itu bersitatap sekilas, lalu aku memandang Bu Ening lagi. “Insya Allah, Bu. Minta do’anya buat Abah, ya, Bu. Assalamu’alaikum.”
Bu Ening mengacungkan dua jempol seraya menjawab salam. Aku berlari kecil keluar kantor, menunduk sedikit pada Pak Rijal di dekat pintu.