The Half Blood

Faty Fathiya
Chapter #4

Mak, Harusnya Emak Percaya

Semalam Aa bilang padaku bahwa ia dan Regit sudah menemukan orang yang mereka duga dalang di balik tuduhan Abah. Seorang pekerja KPBS juga, dan memang tidak terlalu suka pada Abah yang hasil perahan susunya di atasnya padahal jumlah sapinya sama. Akan tetapi Aa tidak memberitahuku siapa, karena masih belum jelas. Aa masih mencari bukti-bukti kuat yang mendukung dugaannya.

 “Na.”

Yang kukhawatirkan sekarang adalah kondisi Abah di kepolisian kota. Meski hanya sementara karena Abah belum mendapatkan pengacara, setidaknya ini sudah hari keenam Abah mendekam di sana. Emak belum pernah menjenguk sekalipun, mungkin masih marah atau apa, aku juga tidak tau. Sesekali kudapati beliau tengah menangis diam-diam di rumah, meski tidak di hadapanku atau Regit. Kalau Aa melihatnya, pasti ia sudah merengkuh bahu Emak untuk menenangkan. Regit juga lebih diam dari biasanya. Ia hampir seharian di kamar jika tidak sedang main ke luar. Aku juga berusaha menjalani keseharianku seakan semua tampak akan baik-baik saja.

“Na, halo?”

Tangan Asep yang melambai di depan mataku reflek kutepis, membuatnya mengaduh. “Eh, sori, Sep.”

“Habisnya kamu teh melamun gitu, Na. Aku takut kamu kesurupan.” Asep menodongku dengan krayon. “Masih siang, loh.”

Euis di sebelahku melotot padanya, mengancam. Lalu ia memandangku iba, “Kamu masih kepikiran abahmu, ya, Na? Kamu duduk di sofa aja, nggak apa-apa, kok. Sebentar lagi kita mah selesai atuh.”

Deden hanya diam menatapku.

Aku menggeleng, kembali mewarnai poster. “Aku nggak apa.”

“Tadi kamu juga melamun waktu mikirin konsep, loh.” kata Deden.

“Aku baik, Den. Oke?” aku memberi tekanan dalam kalimatku, menatapnya tegas.

“Oke. Dia memang sok kuat, Den. Biarin. Sedikit lagi selesai, bro. Yuk, buruan.” Asep kembali mewarnai bagiannya.

Euis memukul bahunya, melotot. Berbisik, jaga mulutmu! Asep mengaduh pelan, balas berbisik, apa, sih?! Aku mendengarnya dengan sangat jelas, tapi aku memilih bungkam. Kami berempat kembali fokus pada poster dalam diam.

Aku mendengus pelan. Sok kuat, ya? Memang, sih. Selama ini aku berusaha tampak tegar di depan semua orang, padahal di balik pintu kamar terkadang air mata tidak bisa kutahan. Aku bingung harus bagaimana. Keadaan rumah seakan hancur begitu saja. Tapi mau bagaimana lagi? Menangis juga tidak akan mengubah apapun.

“Oya, gimana Kang Agan? Sudah nemu pelakunya, Na?” Euis bertanya tanpa memandang ke arahku, masih terpaku pada poster.

“Belum.” jawabku. “Kalau pelakunya belum, tapi dalangnya mah Aa sudah ada dugaan. Masih cari bukti kuat.”

“Dia teh cuma peduli Kang Agannya, Na.” Asep menyeling.

“Asep, ih!”

“Kalau Abahmu gimana kabarnya, Neng?” kali ini Deden yang angkat bicara, membantuku meredakan dua macan yang mulai unjuk taring.

Aku menghela nafas panjang tanpa menghentikan gerakan tanganku. “Emak masih tidak mau berkunjung ke kepolisian. Pernah kutanya, tapi Emak diam saja tidak menjawab. Malah, beliau mengalihkan topik menyuruhku mencuci piring. Padahal teh, nggak ada piring kotor sama sekali di westafel.”

Tangan Deden terhenti, memandangku. Diikuti Euis. Aku yang terheran, mendongak menatap mereka berdua bergantian. “Apa?”

“Menurutku atuh, Neng, sebaiknya kamu bicara sama emakmu. Abahmu sendirian di sana. Meski seorang abah, beliau teh juga butuh semangat dan dorongan dari orang-orang terdekatnya. Terlepas dari beliau bersalah atau tidak, kan.” ujar Deden pelan.

“Aa saja belum pernah coba tanya, Den.”

“Seorang ibu itu lebih sekat secara emosional dengan anak perempuannya, Neng. Bicaralah pada emakmu dengan hati. Insya Allah emakmu pasti mendengarkan. Banyak berdo’a, Neng.” Deden kembali memberi pengertian.

Aku diam, menekuri kertas poster kami yang empat per lima jadi. Lama. Euis menggenggam tanganku lembut. Aku menatapnya, ia tersenyum menguatkan. Menunduk, dadaku rasanya sesak. Seharusnya aku bicara baik-baik lagi pada Emak, kasihan Abah sendirian di sana. Mataku mulai berembun.

Lihat selengkapnya