The Half Blood

Faty Fathiya
Chapter #6

Kamu Ada Apa denganku?

Kami duduk diam di bangku masing-masing dengan tenang, maksudku lebih tenang dari biasanya. Bu Nenden, wali kelas kami, masuk ke kelas sebelum pelajaran pertama dimulai. Beberapa anak laki-laki di kelas sedikit kesal karena mereka harus duduk diam di bangku lebih awal dari kelas lainnya. Bu Nenden masuk diikuti seorang lelaki tinggi yang berseragam sama dengan kami. Suasana kelas hening. Bersikap adem ayem ketika ada murid baru merupakan salah satu hukum adat di sekolah, agar kesan murid baru terhadap kami tidak terlalu buruk. Sebagaimana yang ditanamkan kepala sekolah pada kami. Tapi, tetap saja menurutku pencitraan. Haha.

Karena sudah pernah tau murid baru itu, aku memutuskan untuk mengerjakan PR kimia yang belum sempat kukerjakan kemarin. Meski tidak pernah turun dari tiga besar, nilai kimia-ku yang paling disayangkan. Mendapat tujuh puluh saja sudah sangat untung. Bu Nenden berdiri di depan kelas.

“Hari ini kalian kedatangan murid baru, namanya Avram.” Bu Nenden berkata ramah dengan senyum. “Ayo, perkenalan dulu.”

Kawan sekelas ber-wah ramai. Namanya bagus, ya! Orangnya tinggi banget, lumayan! Sekilas kumendengar bisikan gadis-gadis di depanku. Termasuk Euis yang mulai menyikutku karena gemas. Aku tak peduli, masih fokus pada lembar PR-ku. Tapi, kupikir nama Avram cukup bagus. Dan lagi, bukannya kemarin dia bilang bahwa namanya Gading? Sejenak kutulis sebuah nama di daftar nama tokoh di notes marun sebelum kembali mengerjakan PR. Setelah suasana mulai tenang kembali, murid baru itu membuka mulut.

“Namaku Avram Gading Yogaswara. Biasa dipanggil Gading, bukan Avram. Baru pindah ke Bandung ini dua minggu lalu.” katanya.

“Kenapa bukan Avram? Kan, bagus!” celetuk salah satu.

“Terserah kalian aja, tapi aku nggak terbiasa dipanggil Avram.” jawab Gading.

“Kamu pindahan mana?” tanya yang lain.

Sejenak Gading terdiam. “Jakarta.”

“Waah!”

Kawan sekelas mulai ricuh lagi. Kulihat ketua kelas kami kewalahan menenangkan. Sekolah setahuku memang jarang menerima murid baru dari Jakarta, ini pertama kali untuk kami, dan bisa jadi pertama kali juga untuk sekolah. Wajar saja teman-teman heboh. Tampaknya Bu Nenden tidak mempermasalahkannya agar Gading bisa lebih santai.

“Berarti kamu pakai ‘lo-gue’, ya?” beberapa tertawa, beberapa menatap penasaran.

“Iya,” jawab Gading. “Tapi jarang juga.”

“Coba bilang sesuatu pakai lo-gue, dong!”

“Baik, sudah cukup, ya. Deni, bisa pindah di sebelah Asep? Biar sementara Gading duduk sama ketua kelas.” Bu Nenden berkata.

Asep berdiri, mengangkat tangan. “Bu! Duduk sama saya saja, Bu! Bakal saya temenin, kok!”

Bu Nenden sejanak berpikir, lalu mengiyakan. Beliau mempersilahkan Gading duduk di sebelah Asep, yang berjarak dua bangku serong belakang dari bangkuku dan Euis. Lelaki tinggi itu melangkah. Aku masih tak peduli, memelototi tugas kimia-ku. Euis menyikut-nyikut, membuatku kesal dan menatapnya galak. Berbisik, “Apa teh, Is? Aku lagi kerjain tugas ini!”

“Si anak baru ngeliatin kamu, tuh!” Euis berbisik, menggodaku.

Aku reflek memandang Gading yang tengah berjalan mendekat, ia memang tengah menatapku. Tersenyum padaku.

“Halo.” katanya.

Aku berkedip, “Hai.”

Ia melewati bangkuku dan duduk di sebelah Asep yang sudah sangat siap mencerocosinya tentang sekolah. Aku mengerutkan alis, tak menduga dia bakal menyapaku yang sedari tadi tidak meliriknya barang sekali. Euis dan dua gadis di depan memandang ke arahku, bertanya-tanya.

“Kamu kenal, Na?” tanya Euis.

Lihat selengkapnya