The Half Blood

Faty Fathiya
Chapter #7

Kita Nggak Ada yang Salah

Menemukanmu, seterang titik di tengah nila. Senyum pagi ini engkaulah penciptanya. Tanggung jawab pada sunggingku! Ditunggu kelanjutannya.

Aku tertegun membaca salah satu komentar diantara berjibun komentar lainnya. Sudah lama kulihat ia menyukai tulisanku, sejak awal SMP, tapi tak pernah menyentuh kolom komentar. Saking lamanya bisa jadi dia pengikut pertamaku. Aku ingat, karena foto profilnya hanya background hitam dengan monoline putih membentuk pohon dan kucing di tengah. Namanya hanya tiga huruf kecil, “cat”. Baru kali ini ia berkomentar, membuatku tertegun. Ditambah bahasanya yang puitis, membuat mataku terbuka.

Aku mencoba membuka akunnya. Isinya puisi-puisi pendek. Aku menjadi sedikit tertarik. Ketika akun lain menulis cerpen atau komik, dia malah menulis puisi. Padahal, Kwikku media untuk menulis dua karya itu, aku tidak tau jika puisi bisa lolos kurator. Karena sebelum dipublikasikan, naskah harus melewati kurasi editor Kwikku. Tapi karyanya membuatnya berbeda. Identitasnya juga tidak lengkap, banyak yang kosong. Tak menemukan ide siapa pemilik akun tersebut, aku memilih keluar dan membalas komentar si “cat” ini. Sesuatu yang sangat jarang aku lakukan sebelumnya.

Makasih.

“Nina..”

Aku menoleh. Euis tampak memohon, aku paham kodenya. Ia pasti ingin ditemani ke kamar mandi. Aku mengangguk sekilas, yang membuatnya sedikit bersorak. Segera kututup halaman web dan meninggalkan computer perpustakaan. Terkadang aku memang kemari untuk sekadar membaca buku-buku di rak atau iseng buka akun Kwikku di computer. OSIS bagian perpustakaan dan Bu Ening (penanggung jawabnya) mengizinkan, malah menganjurkan. Beliau tau aku tidak akan macam-macam dan segera membereskan kembali apa yang kupinjam. Selain itu, perpustakaan ini memang sering sepi, aku sangat menyayangkannya. Seharusnya sebagai pelajar, kita harus lebih banyak membaca buku. Materi di kelas saja tidak cukup.

Euis merangkul lenganku, berceloteh tentang ibunya yang tadi pagi membuatkannya perasan jeruk nipis sehingga ia kebelet. Aku terkadang heran, mengapa sebagian besar anak perempuan tidak mau pergi ke kamar mandi sendirian? Termasuk Euis. Toh, kamar mandi laki-laki terpisah. Untung dia sedang bersamaku di perpustakaan, jika tidak, ia harus mencari kawan lain ke kelas.

“Aku tunggu di sini seperti biasa.” ujarku menghentikan langkah.

Euis manyun ingin protes, tapi ia tau aku tidak akan menurutinya. Gadis berambut panjang itu berlari kecil ke kamar mandi. Aku berbalik memandang mading sekolah, tempat menunggu terbaik ketika Euis memintaku menemaninya ke kamar mandi.

Beberapa karya berjibun di sana. Salah satu cerpenku dimuat di sana, ditulis ulang dengan folio dan dihias cantik. Aku tersenyum melihatnya.

“Kau bisa tersenyum juga, ya.”

Aku menoleh, sedikit mendongak karena seseorang di sampingku lebih tinggi. Gading. Aku kembali memandang papan mading. Ia mengikuti arah pandangku.

“Memangnya di kelas tidak pernah? Kurasa tadi sempat tertawa karena Asep melempar penghapus papan tulis ke Euis.” jawabku datar.

“Tersenyum dan tertawa berbeda. Senyum itu dorongan tulus dari hati, tawa itu terdorong karena sesuatu yang lain.” ia berkata. “Beda, kan?”

Jujur saja aku sedikit tertegun oleh ucapannya. Dia benar juga, aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sini? Nggak sama Asep?”

“Mau ke kamar mandi. Asep masih iseng ikut main sepak bola sebentar di lapangan sama adik kelas tadi katanya.” ujar Gading. Lalu ia berbalik, “Aku ke kamar mandi, ya.”

Aku tak menjawab. Kutilik semua karya yang ditempel. Ada opini, cerpen, kata-kata motivasi, dan puisi. Teringat akun bernama Cat tadi, aku tertarik membaca puisi-puisi itu. Siapa tau dia salah satu kawanku di sekolah. Namun, tak ada yang persis gaya bahasa Cat berpuisi. Sebuah kertas kecil ditempel di ujung papan.

Aku kuat mengairi sungai, aku kuat menerima arus. Sederas apapun, sehebat apapun. Karena aku tau, kamu selalu ada bersamaku. Menghalau semua badai. Karena di mataku, kamu yang terhebat. -Bulan-

Aku tersenyum lagi. Kertas kecilku kemarin rupanya tidak jatuh dari sela kotak atau terbang tertiup angin kala anggota mading mengambil karya-karya dari dalam kotak kuning. Ya, nama samaranku Bulan. Hampir setiap hari, aku iseng menulis kata ungkapan seperti ini. Dan semuanya selalu tentang Aa. Menurutku, laki-laki yang terhebat adalah Aa. Aku terkikik menertawai diriku sendiri. Seringkali para gadis itu sok puitis, menulis status kata-kata indah ungkapan untuk seseorang. Pakai subjek aku-kamu. Padahal, sebagian besar dari mereka maksudnya adalah Emak, Abah, atau saudara kandung sendiri. Termasuk aku. Sok pakai aku-kamu, padahal untuk Aa. Hihi.

“Na! Kamu lihat Gading?” Asep tampak berlari dari ujung lorong, seragam putihnya lembab berantakan.

Aku menunjuk kamar mandi. “Ke kamar mandi. Seharusnya teh kamu antar tadi, Sep. Kalau dia tidak tau tempatnya bagaimana? Kan, masih baru. Kamu janji sama Bu Nenden mau temani dia, loh.”

“Ah, sebelumnya aku sering lihat dia keliling sekolah, Na. Sudah hafal tempat ini. Jadi, nggak usah khawatir atuh! Kamu mah nggak mungkin pernah lihat, Na. Kalau istirahat kamu pasti di kelas atau bersemedi di perpus soalnya.” Asep tertawa.

“Biarin.”

Lihat selengkapnya