The Half Blood

Faty Fathiya
Chapter #8

Dia Bukan Siapa-siapa

Banyak orang bilang bahwa fase remaja adalah “masa bucin” seseorang. Di mana sebuah perasaan hangat menyelimut lembut di dada, diiring debar menyenangkan. Sikap perhatian yang dicurahkan pada yang tersayang. Beberapa terang-terang menyatakan rasa itu, beberapa memilih diam dan memperhatikan dari jauh. Seperti Euis.

Meski tampak tidak bisa diam dan banyak tingkah, gadis itu tidak pernah berusaha mendekati Aa secara fisik. Pernah kulihat kala dia dan Aa berpapasan di lorong sekolah, Euis hanya meliriknya sedikit, menunduk. Lalu memperhatikan punggung Aa dari jauh dalam diam. Wajahnya merah, tapi ia tetap diam. Setelah berlari ke kelas, barulah ia melompat-lompat kegirangan.

Ada banyak cara seseorang menikmati perasaan menyenangkan tersebut. Diam-diam aku sering memperhatikan kawan-kawanku. Ada yang lucu, ada yang tidak terduga. Tipe masing-masing juga berbeda pastinya. Kebanyakan, sih, para gadis menyukai cowok-cowok kasep (tampan), tapi ada juga yang menyukai kakak senior yang murah senyum dan baik hati. Sebenarnya aku tidak terlalu paham perasaan mereka, mereka bilang sulit dijelaskan sensasinya dalam kata ketika kutanya. Euis berkata, bahwa ketika kau sangat mengagumi seseorang dan memberikan kebahagiaan, energi tersendiri dalam diri, bisa jadi itulah rasa. Aku ada rasa padanya.

Entahlah, aku tidak pernah merasakan hal yang seperti itu. Semua laki-laki menurutku sama saja, tidak ada yang special. Bahkan Asep. Di mataku, masih Aa yang kukagumi dan bisa membahagiakanku. Tapi kupikir itu tidak bisa disebt rasa seperti kata Euis dan yang lain.

“Nina, besok kamu nggak perlu bawa dokumen untuk ujian nasional, ya.” Bu Nenden yang memanggilku kala keluar kelas berkata.

Untung Bu Nenden sedikit mengeraskan suara, suasana para murid yang pulang ini sangat ramai.

“Kenapa, Bu? Tadi Ibu bilang semua wajib bawa.” tanyaku bingung.

“Dokumenmu sewaktu ujian nasioanal di SMP tadi sudah dikasih sama Bu Ening. Jadi, nggak usah bawa lagi.” jelas Bu Nenden. “Sudah, ya.”

Aku terdiam. Di sekolah wilayah kami, biasanya sebelum akhir tahun ketiga memang diminta dokumen-dokumen tertentu seperti akta kelahiran, kartu keluarga, dan sejenisnya sebagai persyaratan pendaftaran UN. Selama ini ketika ujian akhir sudah dekat dan kami disuruh mengumpulkan dokumen persyaratan pelaksanaan siswa, aku selalu dikecualikan. Ketika SD, Emak sudah mengantarkannya lebih dulu. Begitu pula kala SMP. Kali ini, di SMA juga. Meski bukan Emak. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkannya, tapi mengapa harus serepot itu? Mengapa tidak kuantar saja, seperti yang lain? SD, mungkin aku mewajarkan. Tapi SMA? Lebih-lebih lewat Bu Ening. Aku jadi penasaran.

Aku sedikit berlari mengejar Bu Nenden yang berjalan melewati lautan murid setelah berseru agar Euis pulang duluan saja. “Bu Nenden! Bu!”

Bu Nenden yang mendengar namanya dipanggil, menoleh. “Iya? Ada apa, Na?”

“Bu,” aku sedikit terengah. “Boleh teh, saya lihat dokumen saya? Saya takut ada yang kurang, Bu. Nanti kalau tidak lengkap, biar saya bisa bawa besok.”

“Oh, iya. Ayo, ikut Ibu ke kantor.”

Aku mengekor di belakang Bu Nenden menuju kantor guru. Di sana, beberapa meja sudah sepi. Pun meja Bu Ening. Gading juga ada di dalam, duduk di hadapan Pak Bas, guru BK. Sempat terheran mengapa beliau mengajak murid bicara di ruang kantor, biasa juga di ruang BK di sebelah ruang OSIS. Ia sekilas menoleh ke arahku kala masuk, lalu kembali fokus pada Pak Bas. Bu Nenden mengambil map merah di laci meja beliau, menyerahkannya padaku. Pelan, kubuka kancing map. Fotokopi akta kelahiran berada paling depan, tidak ada yang aneh. Print out pendaftaran online, kartu ujian, lainnya tidak ada yang aneh. Lalu mengapa Emak sampai menyuruh Bu Ening mengambil dokumenku dari SMP?

Aku hendak kembali menutup map tersebut kala sebuah kertas keluar dari sela-sela dokumen, seperti sengaja ditidak-mudahkan menemukannya, jatuh ke lantai. Aku memungut kertas itu, kartu keluargaku. Aku membacanya sekilas, pasti tidak ada yang salah.

Mataku terbelalak melihatnya. Isi kartu keluarga ini—

“Nina, bagaimana? Sudah lengkap?”

Aku tersadar oleh teguran Bu Nenden. Gagap, kuberkata, “I-iya, Bu. Terima kasih, saya pulang dulu. Assalamu’alaikum.”

Aku patah-patah memasukkan kartu keluarga asal ke dalam map, menyerahkannya pada Bu Nenden, dan berbalik keluar dengan sedikit berlari. Beliau mungkin terheran, tapi aku tak peduli. Pikiranku kini penuh oleh pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana bisa isi kartu keluargaku seperti itu? Bagaimana bisa? Aku akan Tanya Emak nanti di rumah. Di lapangan parker, kulihat Euis masih di sana dengan sepedanya, asyik memainkan ponsel. Sepertinya ia tengah menungguku karena tersenyum melambai kala melihatku mendekat.

“Ah, Euis, nungguin? Aku kan, sudah bilang duluan aja.” tanyaku heran.

“Kamu tau, Na? Aku tadi teh lihat ban sepedamu bocor, makanya aku minta tolong Asep bawakan ke bengkel bareng Deden. Nggak apa, kan? Aku sudah chat kamu, tapi nggak dibaca-baca dah. Kamu tadi pagi mungkin ban-nya kena batu runcing nggak sadar.” Euis sedikit manyun menjelaskan. Entah dia kesal karena ban sepedaku yang bocor tanpa alasan atau karena aku tidak membaca pesannya.

Aku menghela nafas. “Kamu kan, tau aku nggak terlalu suka buka ponsel, Is.”

“Ponsel itu penting, Na.” katanya.

Tak lama, sebuah motor mendekat dan berhenti di hadapan kami. Asep dan Deden. Mesin motor dimatikan, Asep meraih helm di gagang spion. Ia tadi belum memakai helm.

“Na, sepedamu ada di bengkel. Tadi teh nggak bisa langsung diambil, banyak yang servis motor. Kayak lagi musim oli kering atau aki bocor dah.” Asep tertawa bercanda.

“Iya, makasih banyak, Sep, Den.” kataku, tersenyum simpul.

Lihat selengkapnya