Sejak mendengar kebenarannya dari Emak, Aku yang biasanya menggerai rambut di rumah, kini selalu memakai jilbab setiap keluar kamar. Ketika Aa ada perlu ke kamar, Aku buru-buru memakai jilbab setelah pintu diketuk baru membukanya. Aa awalnya sempat terheran, namun ia tidak pernah bertanya. Karena yang kutau, lelaki tiri dari rahim yang berbeda saja bukan muhrim, apalagi tidak ada hubungan darah sama sekali. Mungkin di depan Regit tidak masalah, karena ia memang belum mau memakai jilbab. Ribet, katanya.
Pagi ini, Aa mengajakku keluar ke halaman belakang. Melewati kebun-kebun kecil Emak, kami melompati pagar. Perbukitan rendah yang selama ini hanya kulihat lewat jendela, ternyata lebih indah dari dekat. Pepohonan berdiri berjarak dengan daun yang jarang-jarang, membuat sinar mentari menyela lembut. Seperti tiang-tiang emas istana langit di film. Ilalang tumbuh lebih tinggi di bawah bukit dari pada di atas. Benih-benih yang penuh di ujung beterbangan sedikit demi sedikit, berkilau memantulkan cahaya matahari.
“Aaa!!”
Mendadak Aa berteriak, lari kencang ke atas bukit, melompat, dan membiarkan dirinya ditangkap rerumputan. Suaranya menggema di kaki-kaki bukit. Ia tertawa, menoleh ke arahku. Aku tau, itu isyarat untuk mengikutinya.
“Aaa!!” Aku menirunya.
Kami berbaring bersebelahan. Sinar mentari menyiram kami jarang-jarang, tertutupi dedaunan pohon di atas kepala. Rumah kecil kami tampak lebih kecil, namun kehangatan tetap memancar dari sana. Aku tersenyum. Kami diam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Menekuri ciptaan Tuhan yang sangat hebat ini.
“Na,”
Aku menoleh. Aa tampak memandang langit biru, kala itu sedang cerah berawan. “Hm?”
“Menurutmu, yang berjalan itu kita, bumi, atau awan?” tanya Aa, ia mengangkat tangan kanannya, menghalau sinar mentari yang menerpa wajahnya.
Aku memperhatikan sekawanan awan yang berjalan berkelompok. Sebagian tebal, sebagian tipis. Sejenak diam, berpikir. “Awan?”
“Lalu bumi diam? Berarti nggak ada ceritanya sebulan dan setahun atuh.” Aa tertawa pelan.
“Berarti, semua bergerak?” tebakku.
Aa mengacungkan jempolnya ke langit. “Tepat. Jadi, kalau mau melihat pemandangan seindah ini, semuanya harus bergerak. Termasuk kamu. Kalau kamu diam di jendela saja, tidak akan melihat pemandangan seindah ini. Dari duduk di kursi pindah duduk di jendela saja berbeda, apalagi seribu langkah dari sana. Di bagian bumi yang berbeda, dengan awan yang berbeda.”
“Artinya, kalau ingin melihat sesuatu yang hebat, harus terus bergerak maju, seperti melakukan perubahan baik. Jangan diam di tempat saja dan melihat semuanya jadi indah seperti penonton. Kita yang harus menghampiri keindahan itu,” sambungku. “Begitu?”
Aa sontak menoleh menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak, mungkin sedikit terkejut dengan jawabanku. Selama ini, aku hanya menjadi pendengar yang baik atas penuturan Aa. Aku menatap Aa, menuntut jawaban. Lelaki bermata coklat tua itu tersenyum, aku tidak tau bahwa senyum Aa bisa setulus itu.
“Aa teh nggak sadar kamu sekarang sudah dewasa, Na, bisa mengambil kesimpulan sendiri.” ujarnya masih dengan senyum. “Kamu hebat.”
Tatapan itu menghipnotis, diriku seakan tenggelam di tengah coklat iris matanya, menyebabkan debaran di bawah kendali di dadaku. Aku reflek membalikkan badan, membelakanginya. Menutup wajahku dengan tangan, meringkuk. Memaki diri dalam hati. Dia teh Aa-mu! Lancang sekali sampai jantungmu berdebar!
Aa yang melihat sikap anehku segera bangkit duduk, menyentuh bahuku. “Na? Kamu sakit—“
“Ng-nggak!” Aku secara tidak sadar menepis tangannya dari bahuku. Kalimat dia tidak ada hubungan darah denganmu melayang-layang di kepala. Lalu aku tersentak, merasa jahat. “Ah, maaf, A.”
Lelaki berkaus hitam di depanku sedikit terkejut dengan tepisanku. Ia menatapku khawatir, aku yang masih menutupi wajah dengan dua tangan. Ia mendekat, “Na, kamu nggak apa-apa?”